Jakarta –
Ketua Perhimpunan Transplantasi Indonesia dr Maruhum Bonar Hasiholan Marbun, SpPD, KGH membeberkan alasan marak pasien melakukan transplantasi ginjal di luar negeri. Hal ini dikaitkan dengan kebijakan atau regulasi di Indonesia mengenai legalitas.
Transplantasi ginjal hanya bisa dilakukan di beberapa rumah sakit dan tidak diperbolehkan sebagai transaksi jual-beli.
“Hambatan di kita itu legalitasnya, karena tidak authorized di RS kita, mereka pergi ke luar negeri, jadi sisi legalitasnya bermasalah,” terang dia dalam konferensi pers Rabu (26/7/2023).
“Misalnya pasien donor darah ke tempat kita belum kenal dengan resipien (atau penerima), kemudian dia akan meminta imbalan, unsur-unsur seperti itu kita tolak pasti, sehingga mereka pergi ke luar negeri dengan lebih bebas dan aturannya kita tidak tahu,” sambungnya.
Meski begitu, menurutnya jika suatu negara kedapatan melakukan transaksional jual-beli ginjal, otomatis akan mendapatkan sanksi dan banyak hambatan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Misalnya saja, kesulitan dari sisi akademik, terkait presentasi internasional.
Proses transaksional jual-beli ginjal tidak sejalan dengan aturan konsensus Amsterdam 2004 yang melarang hal tersebut. Peraturan ini dianut hampir oleh semua negara, bukan hanya Indonesia.
Bagaimana Jika dalam Bentuk Imbalan Sukarela?
Jika resipien memberikan imbalan dalam bentuk sukarela, tanpa pemerasan dan pemaksaan, hal itu diperbolehkan. Namun, penilaiannya relatif cukup ketat melibatkan advokasi, lawyer, tokoh agama, yayasan lembaga konsumen untuk mengkaji unsur ekonomi dan sosial.
“Jika hasilnya tidak baik, tentu tidak akan diterima donor transplantasi ginjal tersebut,” kata dia.
Simak Video “Fakta Ginjal Kronis di Singapura, Estimasi Kasus Tembus 300 Ribu Pasien“
[Gambas:Video 20detik]
(naf/kna)
Leave a Reply