Jakarta –
Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM Anisyah menilai rencana pelabelan risiko senyawa kimia berbahaya Bisphenol A (BPA) pada galon air minum bermerek merupakan wujud kehadiran negara dalam melindungi kesehatan masyarakat. Sekaligus menjadi tanggung jawab negara yang diharapkan mendapat dukungan semua kalangan.
“Rencana regulasi tersebut menunjukkan negara hadir dalam melindungi kesehatan masyarakat, kata Anisyah dalam keterangan tertulis, Selasa (15/8/2023).
“Pelaku usaha pastinya memahami rencana pelabelan ini dan kami berharap dukungan semua stakeholders (pemangku kepentingan),” imbuhnya.
Dalam talkshow di salah satu media nasional pada Jumat (11/8) lalu, Anisyah mengatakan BPOM telah berdiskusi dengan semua pihak selama proses penyusunan regulasi pelabelan risiko BPA. Diskusi intens ini melibatkan pelaku usaha air kemasan, baik skala mikro, kecil dan menengah, maupun market chief serta asosiasi terkait.
“Alhamdulillah Badan POM mendapat dukungan positif dari banyak kalangan, termasuk Komisi IX DPR,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, BPA adalah salah satu bahan baku pembentuk polikarbonat, jenis plastik keras yang di Indonesia jamak sebagai kemasan galon air minum bermerek. Riset di berbagai negara menunjukkan BPA pada plastik polikarbonat rawan luruh dan berisiko pada kesehatan bila sampai terminum melebihi ambang batas.
Ia menambahkan penyusunan rancangan regulasi soal BPA ini telah melalui semua tahapan perancangan regulasi. Termasuk koordinasi dengan kementerian terkait, Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), kalangan akademisi, dan ahli.
“Di stage kementerian, kami sudah menyepakati urgensi pelabelan ini sebagai bentuk tanggung jawab negara sekaligus untuk melindungi pelaku usaha, termasuk pemerintah, dari kemungkinan tuntutan hukum di masa datang,” ujarnya.
Anisyah berharap dengan adanya rancangan regulasi, produsen galon bermerek dapat berinovasi menghadirkan kemasan galon yang lebih menjamin kualitas dan keamanan air minum.
Lebih lanjut, Anisyah mengatakan kebijakan khusus terkait BPA banyak diadopsi negara di berbagai belahan dunia karena pertimbangan risiko kesehatan. Ada yang menetapkan ambang batas migrasi, melarang complete penggunaannya pada kemasan pangan, hingga mewajibkan pelabelan untuk mengedukasi konsumen.
Sejak 2019, Indonesia melalui BPOM menetapkan batas migrasi BPA pada kemasan pangan berbahan polikarbonat sebanyak 0,6 ppm. Ambang ini wajib dipatuhi produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang menggunakan polikarbonat sebagai kemasan galon guna ulang.
Kendati demikian, Anisyah menyebut ada tren pengetatan toleransi di stage world atas BPA pada kemasan pangan. Ia mencontohkan Uni Eropa kini menetapkan ambang batas migrasi BPA sebesar 0,06 ppm dari 0,6 ppm pada 2011.
Otoritas keamanan pangan Eropa, EFSA, pun merevisi batas asupan harian (Whole Each day Consumption) BPA. Pada 2015 sebesar mikrogram/kilogram berat badan, menjadi 0,2 nanogram/kilogram berat badan pada April 2023.
“Ini berarti ada pengetatan 20.000 kali lebih rendah, toleransi asupannya jadi lebih ketat. Ini juga salah satu alasan BPOM mengkaji kembali regulasi yang ada terkait BPA,” tutur Anisyah.
Menurut Anisyah, rencana pelabelan risiko BPA juga didasarkan hasil pengawasan yang menunjukkan migrasi BPA pada galon bermerek yang beredar di sejumlah kota.
“Datanya memang cenderung mengkhawatirkan, migrasi BPA ada di kisaran 0,06 ppm sampai 0,6 ppm dan bahkan ada yang di atas 0,6 ppm,” paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono memaparkan BPA mendatangkan risiko yang ‘luar biasa’ bagi kesehatan manusia.
“Bahkan sebelum jadi manusia sudah berisiko, saat dalam kandungan, BPA berpotensi mengganggu pertumbuhan janin sehingga dalam perkembangannya akan menimbulkan banyak masalah kesehatan, termasuk autisme, Consideration Deficit atau Hyperactivity Dysfunction (ADHD),” terang Pandu.
Ia menambahkan paparan BPA dalam jangka panjang dapat mengganggu sistem tubuh, termasuk gangguan organ reproduksi, penyakit endokrin, gangguan syaraf, dan kanker. Ia mengatakan semua jenis penyakit tak menular tersebut cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Senada, Ahli Polimer dari Universitas Indonesia Muhammad Chalid mengatakan ada risiko pelepasan BPA yang besar pada kemasan galon bermerek. Terutama bila produk tersebut masih didistribusikan dengan serampangan, termasuk dibiarkan terpapar sinar matahari langsung dalam waktu yang cukup lama.
Selain paparan suhu yang relatif tinggi, kata Chalid, pelepasan BPA pada galon bermerek juga rawan. Sebab proses pencucian galon di pabrik umumnya menggunakan sejenis deterjen yang bisa memicu peningkatan keasaman dan berimbas pada pelepasan BPA.
(akd/ega)
Leave a Reply