Jakarta –
Tidak sedikit yang beranggapan polusi udara berada di degree mengkhawatirkan hanya di jam-jam mobilitas tinggi. Misalnya, di jam berangkat hingga pulang ‘ngantor’.
Padahal, beberapa aplikasi pemantau kualitas udara menunjukkan fakta sebaliknya. Catatan IQAir di tujuh hari terakhir, kualitas udara DKI Jakarta sejak pukul 02:00 dini hari hingga pagi, berada di zona merah dengan konsentrasi PM 2.5 di atas 100 µg/m³ , berkali-kali lipat melampaui pedoman aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Tren lebih parah terjadi di Tangerang Selatan. Per hari ini saja Selasa (15/8/2023) kualitas udara bahkan berada di degree beracun pada pukul 02:00 dini hari.
Aplikasi pemantau kualitas udara lain, Nafas Indonesia, juga melaporkan tren yang sama. Nyaris seluruh wilayah Jabodetabek berada di kualitas udara buruk sejak 10 malam hingga delapan pagi.
Konsentrasi PM 2.5 bahkan tercatat paling tinggi d
i pukul 01:00 hingga 02:00 dini hari. Kabupaten Bekasi misalnya, melaporkan PM 2.5 mencapai 108 µg/m³ pada pukul 02:00 dini hari, lebih tinggi dibandingkan di jam keberangkatan kerja pukul 08:00 pagi.
Tak jauh berbeda, Tangerang Selatan mencatat peningkatan konsentrasi PM 2.5 sejak pukul 01:00 dini hari, paling tinggi mencapai 123 µg/m³ di pukul 03:00 pagi.
Mengapa polusi malah lebih buruk di malam hari?
Plt Deputi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Ardhasena Sopaheluwakan menyebut hal itu dipengaruhi oleh siklus harian.
Kondisi udara di kota-kota besar seperti Jakarta, akan lebih tampak ‘buruk’ pada tiap musim kemarau dengan udara yang bersifat kering. Adapun siklus kualitas udara seperti ini menurutnya telah terjadi sejak lama.
“Kondisi kualitas udara itu ada siklus hariannya pada saat lepas malam hari, dini hari, dan pagi hari, itu cenderung lebih tinggi daripada siang hingga sore. Itu karena ada siklus harian,” ucapnya saat ditemui di Jakarta Timur, (11/8/2023).
Pemicu lainnya adalah lapisan inversi, lapisan atmosfer yang hangat berada di atas lapisan atmosfer dingin. Dalam kondisi regular, suhu atmosfer turun bersama ketinggian, sehingga lapisan atmosfer dingin berada di atas lapisan atmosfer yang hangat.
“Karena kita di wilayah city dan sekarang saat musim kemarau itu ada fenomena namanya lapisan inversi. Jadi ketika pagi, di bawah atau permukaan ini lebih dingin dibandingkan di lapisan atas,” jelas Ardhasena.
“Sehingga, itu mencegah udara itu untuk naik dan kemudian terdispersi. Itu penjelasan mengapa Jakarta kelihatan keruhnya di bawah dibandingkan di atas karena setting perkotaan yang di mana kita semua hidup bersama,” tambahnya.
NEXT: Kemandekan Udara
Leave a Reply