Tag: Fatal

4 Gejala Hipertensi yang Sering Diabaikan, Bisa Picu Kondisi Deadly

Jakarta

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah kondisi ketika tekanan darah berada di atas ambang regular, atau lebih dari 140/90 mmHg. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini bisa mengakibatkan dampak yang serius terhadap kesehatan.

Pasalnya, hipertensi merupakan faktor risiko yangn dapat memicu munculnya berbagai macam penyakit. Bahkan, tak sedikit dari penyakit tersebut yang bisa mengancam nyawa, mulai dari gangguan ginjal, serangan jantung, hingga stroke.

Karena itu, penting untuk mengenal gejala hipertensi agar bisa melakukan upaya penanganan sejak dini. Terlebih, beberapa gejala hipertensi mirip dengan kondisi yang dianggap ringan, seperti mual atau sakit kepala, sehingga kerap terabaikan.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gejala Hipertensi

1. Mual dan Muntah

Mual dan muntah merupakan juga termasuk gejala hipertensi yang sering terabaikan. Normalanya, mual dan muntah disebabkan oleh kondisi seperti pusing atau begah.

Namun, tekanan darah tinggi ternyata juga bisa memicu gejala ini. Hal ini terjadi ketika hipertensi menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah di otak, sehingga meningkatkan tekanan di dalam kepala yang kemudian memicu rasa pusing, mual, dan muntah.

2. Sakit Kepala

Sakit kepala merupakan gejala dari beragam jenis penyakit. Namun pada hipertensi, sakit kepala adalah pertanda kondisi tekanan darah tinggi sudah memasuki tingkat yang sangat parah.

Dikutip dari Healthline, pengidap hipertensi umumnya tidak mengalami sakit kepala. Namun jika tekanan darahnya sudah berada di angka yang sangat tinggi, maka bisa menyebabkan gejala sakit kepala yang hebat. Biasanya, sakit kepala akibat hipertensi terasa di dua sisi kepala dan semakin memburuk saat beraktivitas.

3. Pandangan Kabur

Pandangan kabur juga menjadi gejala hipertensi yang sering diabaikan. Padahal, pandangan kabur merupakan pertanda hipertensi sudah memasuki tingkatan yang mulai parah.

Dikutip dari laman American Coronary heart Affiliation, pandangan kabur terjadi karena adanya kerusakan pembuluh darah di mata akibat tekanan darah tinggi. Kondisi ini disebut juga dengan istilah retinopati hipertensi.

Selain itu, dalam jangka panjang hipertensi juga dapat memicu penyumbatan pada pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan pada saraf optik.

4. Sesak Napas

Pada beberapa kasus, gejala hipertensi juga bisa berupa sesak napas. Secara spesifik, sesak napas adalah gejala yang disebabkan oleh salah satu jenis hipertensi, yakni hipertensi pulmonal.

Hipertensi pulmonal disebabkan oleh tekanan darah tinggi yang terjadi pada arteri di paru-paru. Kondisi ini dapat menyebabkan penyempitan pada arteri paru-paru, sehingga menghambat aliran darah dan oksigen dari jantung menuju paru-paru.

Akibatnya, jantung harus bekerja lebih keras untuk bisa memompa darah dan oksigen yang dibutuhkan paru-paru. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa meningkatkan risiko serangan jantung.

Simak Video “Indra Bekti Punya Riwayat Hipertensi Setahun Terakhir
[Gambas:Video 20detik]
(ath/kna)

Terapi Insulin Diusulkan Bisa di Puskesmas, Cegah Kasus Diabetes Berujung Deadly


Jakarta

Prevalensi diabetes di Indonesia terus merangkak naik dari semula 10,7 juta jiwa di 2019, menjadi 19,5 juta pada 2021. Indonesia menduduki peringkat kelima di dunia dengan kasus diabetes terbanyak di 2021, naik dari peringkat tujuh pada 2019.

Berdasarkan catatan BPJS Kesehatan di 2020, hanya 2 juta jiwa di antaranya yang sudah terdiagnosis dan mendapatkan penanganan melalui pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sementara pasien yang bisa mengontrol kadar gula darah dengan baik dari complete tersebut relatif rendah yakni 1,2 persen.

“Dari sisi ekonomi makro, kondisi ini dinilai cukup memprihatinkan karena berpotensi
meningkatkan pengeluaran biaya pemerintah untuk menangani komplikasi,” terang Ketua PP Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) Prof Dr dr Ketut Suastika, dalam keterangannya, dikutip Kamis (16/11/2023).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengutip laporan CHEPS Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan PERKENI 2016, Prof Ketut menyebut 74 persen anggaran diabetes memang digunakan untuk mengobati komplikasi.

Karenanya, ia melihat penting untuk mulai memberdayakan dokter umum di di Fakultas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti puskesmas.

“Melihat kapasitas yang ada, terdapat peluang untuk meningkatkan kemampuan dokter umum di FKTP dalam menangani kasus pra-diabetes melitus, kasus diabetes melitus tipe 2 tanpa komplikasi, dan melakukan tindakan pencegahan komplikasi untuk kasus diabetes melitus tipe 2 berat.”

Menurutnya, hal ini efektif untuk menekan kasus diabetes berakhir berat atau berujung komplikasi. Utamanya dengan menggencarkan deteksi dini, juga manajemen penyakit diabetes.

Terlebih, di tengah kesenjangan rasio tenaga kesehatan dan pasien, kebutuhan pemberdayaan dokter umum diperlukan demi melakukan intervensi diabetes lebih luas.

“PERKENI bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan telah mengembangkan kurikulum pelatihan yang terakreditasi sebagai modul pelatihan standar bagi dokter umum di seluruh Indonesia untuk membekali tenaga kesehatan profesional di FKTP,” tambah Prof Suastika.

Studi Diabetes in Major Care (DIAPRIM) yang dilakukan oleh Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Universitas Indonesia (CHEPS UI) baru-baru ini juga menunjukkan peralihan terapi insulin dari fasilitas rujukan tingkat layanan (FKRTL) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) signifikan mengurangi beban JKN untuk penanganan diabetes sebanyak 14 persen.

Indonesia saat ini hanya membuka terapi insulin di FKRTL. Namun, mengacu pada pedoman pelayanan kedokteran untuk diabetes melitus tipe 2 seperti yang dijelaskan PERKENI, dokter umum sebenarnya diperbolehkan untuk membantu pasien menjalani terapi insulin, demi menghindari kasus komplikasi.

“Pendekatan ini tidak hanya terbukti dapat menghemat biaya, tetapi juga berdampak pada peningkatan kualitas hidup pasien dan mencegah komplikasi. Hasil studi menekankan pentingnya merealisasikan hasil temuan ke dalam langkah-langkah yang dapat ditindaklanjuti, termasuk perubahan kebijakan seperti menyelaraskan Formularium Nasional dengan PNPK, memastikan kompetensi dan kemampuan fasilitas layanan kesehatan primer, dan memulai reformasi remunerasi di layanan kesehatan primer,” beber Lead researcher Heart for Well being Economics and Coverage Research (CHEPS)
Universitas Indonesia, Prof Budi Hidayat, SKM, MPPM, PhD.

Simak Video “Waspada Diabetes pada Anak
[Gambas:Video 20detik]
(naf/naf)

Viral Kasus Radang Amandel Berujung Deadly, Kapan Waktu yang Tepat untuk Operasi?


Jakarta

Ramai kasus operasi radang amandel berujung kematian, meskipun keduanya belum dipastikan berkaitan lantaran proses investigasi masih berlanjut. Namun, hal ini memicu kekhawatiran di masyarakat. Tidak sedikit yang kemudian mempertanyakan kapan sebenarnya harus menjalani operasi atau masih ‘aman’ dibiarkan saat gejala dirasa tidak terlalu buruk.

dr Zainal Adhim SpTHT dari RSUP Fatmawati menyebut fungsi amandel sebetulnya bak tentara pertahanan tubuh. Pasalnya, organ ini berfungsi mencegah infeksi hingga menghalau benda asing. Misalnya, infeksi karena bakteri, virus, hingga parasit.

Setelah terperangkap di amandel, penyebab infeksi dibawa ke kelenjar getah bening yang kemudian menghasilkan respons antibodi untuk menghancurkan virus maupun bakteri tersebut.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Otomatis, jika mengalami masalah pada amandel, pertahanan tubuh kemudian melemah dan rentan terserang beragam penyakit.

Kondisi Regular Amandel

“Secara garis besar, amandel dikatakan regular itu pertama dilihat dari visible, biasanya ukurannya tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Jadi kalau dilihat dari rongga mulut itu kan ada pilar, terlihat dari kiri dan kanan ga terlalu menonjol ke dalam,” tegasnya dalam webinar daring, Senin (9/10/2023).

Di sisi lain, warna amandel yang regular juga ditandai dengan kemerahan yang mirip dengan rongga mulut. “Permukaan licin, tidak ada benjolan atau bintik-bintik putih,” beber dia.

Jika tengah bermasalah, biasanya ada bintik-bintik putih pada amandel, dibarengi dengan gejala sakit ketika menelan, demam, batuk, sakit tenggorokan, bengkak.

Kapan Harus Dioperasi?

Kondisi radang amandel biasanya perlu dioperasi saat keluhan gejala cenderung intens dan mengganggu aktivitas sehari-hari, bahkan membahayakan.

“Kalau mutlak indikasi kasus yang sangat besar sehingga menyebabkan sumbatan napas, walaupun jarang sakit, misalnya, tapi tidurnya sering ngorok, pilek, dan sampai mengganggu, bisa sampai henti napas, ini diindikasi mutlak (wajib operasi) walaupun tidak ada keluhan sakit tenggorokan berulang,” sambungnya.

Keluhan lain seperti demam tinggi hingga kejang, juga menjadi indikasi atau pertanda pasien harus segera menjalani tindakan operasi.

Berbeda jika pasien misalnya hanya mengeluhkan gejala ringan dan terjadi dalam satu sampai dua kali setahun. Pada kasus ini, dokter menganjurkan pasien untuk mengubah pola gaya hidup sehat, pola makan, dan pemberian obat.

Namun, saat gejala tidak kunjung membaik, barulah pasien direkomendasikan untuk menjalani operasi. “Jadi perlu pemeriksaan secara komprehensif,” pungkasnya.

Simak Video “Dugaan Malapraktik RS Kartika Husada Jatiasih di Operasi Amandel
[Gambas:Video 20detik]
(naf/naf)

dr Boyke Ungkap Bahaya Gonore, Awalnya Tak Disadari hingga Berujung Deadly

Jakarta

Ramai jadi pembahasan di media sosial, gonore (gonorrhea) atau kencing nanah merupakan infeksi menular seksual yang dipicu bakteri. Pakar seks dr Boyke Dian Nugraha menyebut penyakit gonore bisa saja muncul kembali pasca pengidapnya dinyatakan sembuh.

Hal ini dikarenakan kemungkinan awal mula penyebaran gonore tanpa disadari tak kunjung diatasi, yakni dari pasangan yang bisa saja tidak mengeluhkan gejala apapun.

Pada pria, gejala gonore yang timbul adalah rasa terbakar ketika buang air kecil, keluar cairan kekuningan atau kehijauan dari penis, dan terkadang disertai testikel yang sakit serta bengkak. Namun, ada sebagian pria yang tidak merasakan gejala apapun.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berbeda dengan wanita, justru sebagian besar wanita tidak bergejala atau bergejala ringan. Jika bergejala, penyakit ini sering salah prognosis menjadi infeksi saluran kemih atau infeksi vagina.

“Gonore itu bertempat tinggal di saluran kencing pria maupun saluran kencing wanita. Kalau salah satu terkena kemudian berhubungan seks dengan pasangan yang tidak ada gonore, ya jadi kena,” beber dr Boyke.

Hal itu yang kemudian menyebabkan pasangan tetap berisiko terkena gonore meskipun tidak melalui kontak urine. Pasalnya, sperma maupun cairan dari vagina berpotensi membawa gonore.

“Hubungan seks ketika sperma disemoprotkan, atau ketika keluar cairan dari pembasahan vagina, itu sudah mulai keluar gonorenya. Gejala mereka ada yang sakit, ada yang tidak saat kencing,” sambungnya.

Karenanya, dalam beberapa kasus, dr Boyke selalu meminta pengobatan gonore dilakukan pada kedua pasangan agar infeksi tidak terus menerus dilaporkan, meskipun penularan melalui media lain tidak bisa dihindari.

“Kalau pun tidak dari pasangan, bisa saja dari air, bisa jadi dari bathroom, tapi kalau pasangannya tidak diobati yang bisa jadi percuma semua pengobatannya,” tegasnya.

NEXT: Bahaya Gonore

Simak Video “Bukan Mitos! Sering Menahan Kencing Bisa Sebabkan Batu Ginjal
[Gambas:Video 20detik]

Kemungkinan Cara Penularan ‘Illness X’ Kata Kemenkes, Lebih Deadly dari COVID-19?

Jakarta

Belakangan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyoroti potensi kemunculan penyakit baru yang bakal menjadi pandemi dan lebih mematikan dibandingkan COVID-19. Penyakit tersebut disebut sebagai ‘Illness X’ lantaran masih tidak diketahui bentuk penyakit dan sumbernya.

Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan, ada kemungkinan, penyakit yang menjadi illness X nantinya menular by way of udara. Juga ada kemungkinan, illness X disebabkan patogen yang tidak diketahui pada manusia berupa virus, bakteri, atau jamur yang pengobatannya belum diketahui.

“Yang menjadi penyakit international umumnya yang menular by way of udara. Kalau lewat darah, air itu bisa dicegah. Tapi kalau udara sulit dicegah, karena orang hidup tidak mungkin bisa berhenti bernapas,” jelas Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi dikutip dari Antara, Sabtu (2/6/2023).

dr Nadia menjelaskan, salah satu penyakit yang bisa menular by way of udara adalah influenza. Sama seperti COVID-19 yang memicu pandemi international.

“Makanya, selalu flu yang memiliki potensi besar jadi pandemi. Kami belum tahu obatnya apa, semua flu belum ada obatnya, dan paling sulit dihadapi yang paling mungkin divaksin,” jelas dr Nadia lebih lanjut.

Di samping itu, ada juga kemungkinan illness X berupa penyakit zoonosis, atau menular dari hewan ke manusia. Beberapa penyakit zoonosis yang sudah ada seperti Ebola, Hepatitis Akut, dan cacar monyet.

“Seperti Ebola, sudah beberapa tahun dibilang akan mendunia tapi belum juga mendunia sampai sekarang,” ujar dr Nadia lebih lanjut.

Diketahui, istilah ‘Illness X’ pertama kali diciptakan oleh WHO pada Februari 2018. Istilah tersebut berbarengan daftar ringkas dari cetak biru penyakit yang mewakili penyakit-penyakit hipotesis yang belum diketahui jenis dan sumbernya, namun diyakini berpotensi menjadi pandemi di waktu mendatang.

Kemudian pada Senin (22/5) dalam perkumpulan Majelis Kesehatan Dunia ke-76 di Jenewa, Swiss WHO mengemukakan kemungkinan munculnya illness X.

“Kesiapsiagaan saat ini untuk antisipasi agar negara bersiap. Masalahnya, kami tidak tahu obatnya apa dan pemicunya apa,” pungkas dr Nadia.

Simak Video “Serba-serbi Illness X, Penyakit yang Diwanti-wanti WHO
[Gambas:Video 20detik]
(vyp/vyp)