Tag: Kerok

‘Biang Kerok’ Krisis Populasi Thailand Makin Horor, Perlahan Didominasi Lansia

Jakarta

Angka kelahiran di Thailand terus menurun, populasi di sana diprediksi bakal berkurang hingga setengahnya, dari sekitar 60 juta menjadi 30 juta di 60 tahun mendatang jika trennya terus berlanjut.

Menteri Kesehatan Masyarakat Dr Cholnan Srikaew melihat menurunnya minat berkeluarga warga Thailand kerap terjadi pada mereka dengan tingkat pendidikan yang tinggi, bahkan sebetulnya mampu secara finansial.

Ada persepsi memiliki anak bisa membuat mereka miskin, sehingga prioritas warga Thailand yang utama adalah berkarier.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Orang Thailand tidak akan memiliki anak, terutama mereka yang memiliki pendidikan, pengetahuan, dan kemampuan yang baik serta mampu secara finansial. Mereka tidak akan melakukannya,” kata Menkes Cholnan, dikutip dari Channel Information Asia, Minggu (17/12/2023).

“Ini adalah sesuatu yang terdistorsi dalam masyarakat Thailand,” tambahnya.

Karenanya, pemerintah berencana untuk membuka klinik kesuburan di setiap provinsi dan melakukan sejumlah langkah untuk mengurangi beban mengasuh anak. Thailand juga tengah membahas program bantuan baru terkait perempuan yang mengalami kesulitan untuk hamil, dengan memperbanyak teknologi terkait reproduksi dan kesuburan.

Langkah ini merupakan respons terhadap anjloknya angka kelahiran di Thailand, yang turun hampir 40 persen hanya dalam satu dekade, dari 780.975 pada tahun 2012 menjadi 485.085 pada tahun 2022.

Penurunan tersebut begitu signifikan dalam dua tahun terakhir sehingga angka kematian untuk pertama kalinya melebihi angka kelahiran di negara tersebut.

Selain perkiraan depopulasi, jumlah angkatan kerja di Thailand juga diperkirakan menurun dari lebih 40 juta orang saat ini menjadi 14 juta warga di 2083.

“Pada saat yang sama, populasi lansia diperkirakan meningkat dari sekitar delapan juta orang menjadi 18 juta orang, atau sekitar separuh negara,” tambah Dr Piyachart.

Mindset Warga Thailand

Thailand memiliki tingkat kesuburan terendah kedua di Asia Tenggara setelah Singapura, yang mencatat 1,04 kelahiran per perempuan pada 2022.

Negara tetangga lainnya seperti Kamboja, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Vietnam melaporkan angka kesuburan lebih tinggi, baik mendekati atau di atas tingkat penggantian.

Para analis mengatakan pergeseran demografi di Thailand merupakan masalah multidimensi yang berasal dari berbagai faktor seperti pendidikan tinggi, berkurangnya kesenjangan dalam peran gender dan nilai-nilai sosial yang semakin memprioritaskan pencapaian karier.

Kebijakan keluarga berencana yang sukses dan kondisi sosial-ekonomi seperti kesenjangan sosial, terbatasnya pendapatan, dan rendahnya kualitas pendidikan juga telah membuat masyarakat enggan memiliki anak.

Meskipun pemerintah menginginkan lebih banyak bayi, membesarkan keluarga bukanlah tugas yang mudah bagi masyarakat awam Thailand ketika sistem pendukung tidak dapat mengimbangi kenaikan biaya hidup atau permintaan kedua orang tua untuk bekerja.

Cuti melahirkan menurut undang-undang selama 14 minggu, termasuk akhir pekan dan hari libur, tidak memberikan banyak waktu bagi orang tua yang bekerja untuk mengasuh bayi mereka. Bahkan, ketika mereka harus kembali bekerja, para analis mengatakan pusat penitipan anak tidak memadai dan fasilitas berkualitas tinggi memerlukan biaya yang mahal.

“Ketika pemerintah meminta masyarakatnya memiliki anak untuk negaranya, kita harus bertanya balik kepada mereka ‘Apa imbalan yang diberikan negara kepada kita?'” kata Nona Phanphaka, salah satu warga Thailand.

Meskipun pemerintah memberikan berbagai macam subsidi, ia menegaskan bahwa subsidi tersebut tidak cukup dan orang tua tidak punya pilihan selain bekerja lebih keras untuk memberikan standar pendidikan yang baik dan kehidupan yang baik bagi anak-anak mereka.

“Thailand tidak menyenangkan. Bukan masyarakat yang cukup baik untuk membuat saya ingin punya anak,” kata Phanphaka, kepada CNA.

Simak Video “Singgung soal Penurunan Angka Kelahiran di Korut, Kim Jong Un Nangis
[Gambas:Video 20detik]
(naf/naf)

Pandemi COVID-19 Dituding Jadi Biang Kerok Wabah Kutu Busuk di Paris


Jakarta

Beberapa waktu terakhir, wabah kutu busuk menyerang Prancis, hingga kini ikut merembet ke Inggris. Ahli menduga, kutu busuk ini sebenarnya menyebar gegara lockdown pandemi COVID-19. Apa hubungannya?

Pada dasarnya, jeda aktivitas perjalanan selama pandemi memperlambat penyebaran serangga ini, yang dapat ditemukan di resort, transportasi umum, dan restoran. Namun lantaran kini masyarakat kembali beraktivitas regular layaknya sebelum pandemi, kutu busuk kembali menyebar dan memicu penyebaran penyakit.

Sebelumnya, pemerintah Prancis telah mengadakan pertemuan untuk membahas pengendalian virus lantaran negaranya akan menjadi tuan rumah Olimpiade 2024. Sekolah dan perpustakaan terpaksa ditutup, sementara para pelancong mengeluhkan penyebaran kutu di tempat penginapan, resort, bioskop, dan restoran.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Laporan aktivitas kutu busuk cenderung meningkat di musim panas karena orang lebih banyak bepergian,” ungkap manajer teknis di British Pest Management Affiliation (BPCA), Natalia Bungay, dikutip dari Day by day Mail, Senin (23/10/2023).

“Kurangnya perjalanan selama masa lockdown akibat pandemi COVID-19 menyebabkan masalah kutu busuk jarang terjadi, jadi tidak mengherankan jika kita sekarang melihat peningkatan pesat dalam hal ini,” imbuhnya.

Sementara itu, Jean-Michel Bérenger selaku ahli entomologi di IHU (pusat penelitian medis yang terhubung dengan rumah sakit) di Marseille, menyebut penyebaran kutu busuk ini sebenarnya sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

“Terdapat jeda dalam lockdown akibat pandemi COVID, kemudian terjadi peningkatan dalam dua tahun terakhir dengan pariwisata kembali berjalan lancar karena masyarakat ingin bersenang-senang,” tutur Bérenger.

Profesor entomologi medis di London Faculty of Hygiene & Tropical Medication, Mary Cameron, menyebut hingga kini sebenarnya belum ada penelitian yang membuktikan peningkatan jumlah kutu busuk. Namun tetap ada kemungkinan, kutu busuk ini betulan meningkat jumlahnya dan memicu kekhawatiran di masyarakat.

“Itu karena cuacanya sangat sejuk dan kita mengalami musim panas yang panjang, dan sebagian besar serangga menyukai kehangatan dan kelembaban karena mereka dapat berkembang biak dengan cepat,” bebernya.

“Jadi menurut saya cuaca telah memperpanjang musim bagi berbagai serangga, termasuk kutu busuk,” pungkas Prof Mary Cameron.

Simak Video “Kutu Busuk Serang Paris, Ini Bahayanya Jika Digigit
[Gambas:Video 20detik]
(vyp/kna)

Disebut ‘Biang Kerok’ COVID-19 Naik Lagi di AS, Ini Daftar Gejala Varian EG.5

Jakarta

Dunia kembali dihebohkan kemunculan varian baru COVID-19, yakni EG.5. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mengungkapkan varian tersebut kini mendominasi seperlima kasus di Amerika Serikat.

Tak hanya di Amerika Serikat, varian EG.5 telah menyebar ke banyak negara seperti China, Korea Selatan, Inggris, Kanada, dan Jepang.

Kemunculan varian EG.5 ini terjadi saat Amerika Serikat melihat peningkatan rawat inap karena virus corona, kenaikan yang signifikan pertama sejak Desember 2022. CDC mencatat adanya kenaikan sebesar 12,5 persen hingga 29 Juli.

Saat itu, sebanyak 9.056 orang sakit karena penyakit pernapasan. Hal itu kemungkinan besar akibat dari peningkatan sosialisasi musim panas, kekebalan yang berkurang, dan tindakan pencegahan yang sudah dihilangkan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah mengklasifikasikan EG.5 sebagai ‘Variant of Curiosity’. Namun, EG.5 tidak dianggap sebagai ancaman bagi kesehatan masyarakat dan dianggap masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Pimpinan teknis WHO untuk COVID-19 Maria Van Kerkhove mengatakan varian EG.5 memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi. Tetapi, itu tidak lebih parah daripada varian Omicron lainnya.

“Kami tidak mendeteksi perubahan keparahan EG.5 dibandingkan dengan sublineage Omicron lainnya yang telah beredar sejak akhir 2021,” katanya yang dikutip dari Reuters, Kamis (10/8/2023).

Gejala Varian COVID-19 EG.5

Para ahli mengungkapkan adanya sedikit perbedaan gejala dan tingkat keparahan dari semua pressure COVID-19 yang telah menyebar di dunia. Namun, hal itu sulit untuk diungkap secara jelas karena kurangnya pengawasan terhadap virus Corona dibandingkan saat puncak pandemi sebelumnya.

Terkait gejalanya, varian EG.5 tidak jauh berbeda dengan varian sebelumnya. Gejalanya cenderung mirip dengan varian Omicron, seperti:

  • Pilek
  • Hidung tersumbat
  • Sakit kepala
  • Kelelahan
  • Bersin
  • Sakit tenggorokan
  • Batuk
  • Perubahan indera penciuman pasien

Simak Video “Soal Covid-19 Paling Bermutasi Ada di RI, Epidemiolog: Belum Berpotensi Serius
[Gambas:Video 20detik]
(sao/vyp)

Badan Intelijen AS Ungkap Fakta Baru soal Biang Kerok COVID-19


Jakarta

Badan Intelijen Amerika Serikat mengumumkan fakta baru terkait asal-usul pandemi COVID-19. Berdasarkan laporan pada Jumat (23/6/2023), pihaknya tidak menemukan bukti langsung yang menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 berasal dari insiden di Institut Virologi Wuhan, China.

Laporan sebanyak empat halaman yang dipublikasikan oleh Kantor Direktur Intelijen Nasional (ODNI) mengatakan komunitas intelijen AS masih tidak dapat mengesampingkan kemungkinan, bahwa virus itu berasal dari laboratorium, dan belum dapat menemukan asal-usul virus tersebut.

“CIA dan badan lain tetap tidak dapat menentukan asal muasal pandemi COVID-19 secara tepat, karena hipotesis (alami dan laboratorium) bergantung pada asumsi yang signifikan atau menghadapi tantangan dengan pelaporan yang bertentangan,” catat laporan ODNI yang dikutip dari The Straits Instances, Sabtu (24/6/2023).

Sementara, ‘pekerjaan ekstensif’ telah dilakukan pada virus Corona di Institut Wuhan (WIV), lembaga tersebut belum menemukan bukti insiden spesifik yang dapat menyebabkan wabah tersebut.

“Kami terus tidak memiliki indikasi bahwa kepemilikan penelitian pra-pandemi WIV termasuk SARS-CoV-2 atau nenek moyang dekat, atau bukti langsung bahwa insiden terkait penelitian tertentu terjadi yang melibatkan personel WIV sebelum pandemi yang dapat menyebabkan pandemi COVID-19,” kata laporan itu.

Asal-usul pandemi telah menjadi bahan perdebatan sengit di Amerika Serikat hampir sejak kasus manusia pertama dilaporkan di Wuhan pada akhir 2019. Presiden Joe Biden pada bulan Maret lalu menandatangani RUU yang mendeklasifikasi informasi terkait asal-usul pandemi.

Dia kemudian mengatakan bahwa akan berbagi tujuan Kongres, untuk merilis informasi sebanyak mungkin tentang asal mula COVID-19.

Perdebatan dimulai yang dipicu oleh laporan Wall Avenue Journal pada bulan Februari, bahwa Departemen Energi AS telah menilai dengan ‘kepercayaan rendah’ dalam laporan intelijen rahasia bahwa pandemi kemungkinan besar muncul dari kebocoran laboratorium China. Namun, penilaian itu dibantah oleh Beijing.

Direktur FBI Christopher Wray mengatakan pada 28 Februari, agensinya telah menilai selama beberapa waktu bahwa asal mula pandemi.

“Kemungkinan besar, potensi insiden laboratorium di Wuhan. Namun, China mengatakan ini (klaim) tidak memiliki kredibilitas apapun,” sambungnya.

Hingga 20 Maret, empat lembaga AS lainnya masih menilai bahwa COVID-19 kemungkinan besar merupakan hasil dari penularan alami, sementara dua lainnya belum diputuskan.

Simak Video “Jepang Turunkan Klasifikasi Covid-19 Jadi Setara Flu Biasa
[Gambas:Video 20detik]
(sao/vyp)