Jakarta –
Generasi muda Korea Selatan tengah dijuluki ‘N-Po era’. Sebutan ini disematkan pada mereka yang terpaksa berhenti menikah, memiliki anak, dan banyak mimpi lain imbas pekerjaan belum ‘settle’ di tengah biaya hidup terlampau tinggi.
Seperti kisah Kim Jaram, pria berusia 32 tahun itu mengambil lebih dari dua pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pagi hingga siang hari, dirinya bekerja sebagai desainer internet, sementara di malam hari, Kim Jaram bertugas di dua toko. Dirinya juga tidak pernah absen bekerja saat akhir pekan.
Terhitung lebih dari 100 jam dihabiskan untuk bekerja dalam sepekan. Lebih dari dua kali lipat jam kerja pada umumnya yakni ‘9 to five’ atau pukul 9 pagi hingga 5 sore waktu setempat.
“Di Korea Selatan saat ini, jika Anda ingin bertahan hidup dengan gaji bulanan, Anda harus bekerja di perusahaan besar atau di pekerjaan tertentu,” kata pria yang tinggal di Seongnam, kota di bagian tenggara Seoul.
“Bagi orang regular, jika ingin menabung untuk masa depan, memiliki dua pekerjaan adalah suatu keharusan,” sambung dia.
Namun, jadwal yang padat ini berdampak buruk pada Kim, yang memegang gelar affiliate di bidang makanan dan nutrisi, tetapi belakangan beralih karier setelah mengambil kursus desain internet. Sering kehilangan fokus berujung amukan bos. Berat badan bertambah karena kurang berolahraga dan yang lain.
Dirinya ingin memiliki cukup uang membuka toko sendiri dalam waktu setahun.
“Saya tidak berencana hidup seperti ini seumur hidup saya,” katanya.
“Tujuan saya adalah mencapai kebebasan finansial antara usia 40 dan 45 tahun. Mengapa tidak bekerja sekeras yang saya bisa sekarang?”
Korea Selatan adalah negara maju yang berkembang pesat. Namun, ada kecenderungan seperti yang terjadi di beberapa wilayah Asia lain, yakni generasi muda merasa lebih sulit dibandingkan orang tua mereka untuk mencapai kemajuan meskipun memiliki pendidikan lebih tinggi.
Kaum muda di negara ini disebut sebagai ‘generasi N-Po’, yang harus meninggalkan banyak hal karena ketidakamanan pekerjaan dan tingginya biaya rumah, juga hidup. Istilah ini dimulai dengan ‘generasi Sampo’, mengacu pada generasi muda yang terpaksa berhenti berkencan, menikah, dan memiliki anak karena ketidakamanan ekonomi yang diperburuk oleh krisis keuangan world di 2008.
Ada istilah lain yakni Neraka Joseon, yang diciptakan sekitar delapan tahun lalu, menggambarkan masyarakat fashionable Korea sebagai versi buruk dari dinasti Joseon dan sistem kelasnya yang tidak setara.
Kisah Kim, dan kisah remaja lainnya yang baru-baru ini terjadi di Korea Selatan, menyoroti dampak dari sistem yang tidak kenal ampun dan sangat kompetitif, dimulai di sekolah dan berlanjut hingga masa dewasa.
Faktor-faktor di balik terjebaknya generasi muda di negara ini berakar kuat pada budaya.
Simak Video “Anak Muda yang Kesepian di Korea Selatan Akan Diberi Tunjangan“
[Gambas:Video 20detik]
(naf/kna)