Tag: TikTok

Lobotomi Viral di TikTok, Pengobatan Gangguan Psychological Sadis yang Kini Dilarang

Jakarta

Kini ramai di media sosial TikTok bahasan seputar prosedur pengobatan gangguan psychological lobotomi. Konten terkait lobotomi kebanyakan memperlihatkan video before-after pasien setelah menjalani prosedur tersebut.

Lobotomi merupakan prosedur pengobatan gangguan psychological dengan melubangi kepala pasien. Operasi ini lazim dilakukan pada pertengahan 1900-an, namun kini dilarang karena tindakannya yang sadis.

Apa itu lobotomi?

Menurut American Affiliation for the Development of Science (AAAS), lobotomi atau yang juga dikenal sebagai leucotomy, adalah operasi bedah saraf yang melibatkan kerusakan permanen pada bagian lobus prefrontal otak. Sejak awal kemunculannya, lobotomi selalu menjadi kontroversi, namun dilakukan secara luas selama lebih dari dua dekade sebagai pengobatan skizofrenia, manik depresi, gangguan bipolar, dan penyakit psychological lainnya.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dikutip dari WebMD, operasi lobotomi melibatkan pengangkatan sebagian lobus frontal otak pasien melalui lubang atau lubang yang dibuat di tengkorak. Salah satu pionirnya adalah Dr Walter Freeman, yang memulai prosedur ini di AS bekerja sama dengan ahli bedah saraf yang berkualifikasi.

Kemudian, dia mulai melakukan prosedur tersebut sendiri dan melakukan ribuan lobotomi, termasuk 19 pada anak-anak. Ia menggunakan dan mengajarkan pendekatan transorbital, yang dilakukan melalui rongga mata dengan menggunakan instrumen yang ia rancang sendiri.

Freedman sendiri melaporkan bahwa lebih dari seperempat pasien yang menjalani lobotomi mengidap epilepsi. Banyak orang mengalami dampak buruk lainnya, menjadi apatis atau menunjukkan perilaku sosial yang tidak pantas.

Tujuan prosedur lobotomi

Selama 1940an dan 1950an, lobotomi dilakukan untuk merawat pasien yang mengidap gangguan psychological selama bertahun-tahun. Beberapa kondisi yang ditangani dengan lobotomi meliputi:

  • Gangguan obsesif-kompulsif (OCD)
  • Penyakit depresi berat
  • Psikosis
  • Skizofrenia
  • Psikosis manik depresif
  • Neurosis kronis
  • Kepribadian psikopat

Lobotomi mengganggu hubungan antara korteks frontal dan seluruh otak, khususnya thalamus. Dokter percaya bahwa hal itu akan mengurangi rangsangan irregular yang mencapai space frontal. Rangsangan seperti itu diduga menimbulkan perilaku impulsif dan kekerasan. Lobotomi akan membuat pasien tenang dan patuh sehingga bisa dipulangkan untuk tinggal bersama keluarganya.

Sudah Dilarang

Puluhan ribu lobotomi dilakukan di Amerika Serikat antara tahun 1930-an dan 1960-an, seringkali tanpa persetujuan. Akhirnya, kurangnya bukti yang mendukung prosedur membuat prosedurnya ditinggalkan.

Uni Soviet secara resmi melarang prosedur ini pada tahun 1950. Para dokter di Uni Soviet menyimpulkan bahwa prosedur tersebut “bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan”. Pada tahun 1970-an, banyak negara telah melarang prosedur ini, begitu pula beberapa negara bagian Amerika.

Pada 1977, Kongres AS, pada masa kepresidenan Jimmy Carter, membentuk Komite Nasional untuk Perlindungan Subyek Penelitian Biomedis dan Perilaku Manusia untuk menyelidiki tuduhan bahwa bedah psiko – termasuk teknik lobotomi – digunakan untuk mengendalikan kelompok minoritas dan membatasi hak-hak individu.

Simak Video “Menkes Ungkap 1 dari 10 Orang Indonesia Alami Gangguan Jiwa
[Gambas:Video 20detik]
(kna/vyp)

Viral Food plan Tiffany Plate di Tiktok Cuma Makan Sayur Mentah-Keju, Aman Nggak Ya?

Jakarta

Metode weight loss program ‘Tiffany Plate’ kini viral di Tiktok. Banyak pengguna mengikuti tren weight loss program ini, dengan hanya memakan sayuran mentah dan keju dan saus. Food plan ini pertama kali dipopulerkan oleh seorang pengguna TikTok bernama Tiffany Magee asal Florida, Amerika Serikat.

Melalui video yang diunggah, Tiffany nampak mengonsumsi berbagai macam sayuran mentah yang diberi keju cottage dan saus mustard. Terkadang ia juga mengkombinasikannya dengan buah dan sosis. Jenis makanan tersebut ia konsumsi setiap hari.

Berkat weight loss program tersebut, Tiffany mengaku berhasil menurunkan berat badannya hingga 36 kilogram setelah 20 tahun gagal menjalani berbagai macam metode weight loss program.

Berkaitan dengan weight loss program yang tengah viral tersebut, ahli gizi Jamie Nadeau, RD menjelaskan bahwa bahan yang digunakan khususnya keju cottage sebenarnya memiliki manfaat yang besar untuk kesehatan.

“Keju cottage adalah sumber protein yang baik dengan 25 gram per cangkir. Keju ini bisa menjadi sumber kalsium dan vitamin B12 yang baik,” ucap Nadeau dikutip dari Well being, Selasa (22/8/2023).

Nutrisi lain yang dapat ditemukan di keju tersebut antara lain fosfor, selenium, dan vitamin A. Keju cottage yang dikombinasikan dengan sumber karbohidrat seperti buah dapat menjadi asupan energi jangka panjang dan membuat kenyang lebih lama.

Ahli gizi Miranda Galati, MHSc, RD mengatakan bahwa mustard juga memiliki manfaat untuk tubuh. Selain itu, mustard juga rendah kalori sehingga baik untuk penurunan berat badan.

“Mustard juga kaya akan antioksidan seperti isothiocyanates dan sinigrin yang memiliki manfaat bersifat anti kanker, anti inflamasi, serta dapat melindungi diri dari penyakit,” ujarnya.

Galati menjelaskan bahwa mengonsumsi keju cottage, mustard, daging, dan sayuran yang rendah kalori dan membuat kenyang lebih lama memang bermanfaat untuk penurunan berat badan. Namun, ia mengingatkan bahwa bukan berarti metode tersebut seimbang dan bergizi.

Viral Bocah Essential Roleplay di Tiktok, Bisa Sefatal Ini Efeknya Kata Psikiater

Jakarta

Viral video bocah dimarahi sang ayah gegara ketahuan bermain roleplay di Tiktok. Netizen menyoroti, tak seharusnya anak tersebut dimarahi dan dibentak-bentak gegara ketahuan bermain roleplay, apalagi sampai wajahnya disebarluaskan ke dunia maya.

Namun di samping itu, banyak juga warganet yang menyoroti faktor pemicu anak gemar bermain roleplay di media sosial. Terlebih mengingat, permainan yang ‘berbau dewasa’ ini bisa menjadi wadah terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual pada anak.

Usut punya usut, anak dalam video tersebut bermain roleplay dengan orang-orang yang tidak dikenal dan berusia jauh dengannya. Bahkan, roleplay yang dimainkan sudah berbau konten dewasa, sampai-sampai bocah tersebut diceritakan sudah memiliki anak yang perannya dimainkan oleh consumer TikTok lain.

Apa Itu Roleplay?

Roleplay merupakan singkatan dari roleplayer. Dikutip dari TechTarget, roleplay adalah permainan yang memungkinkan penggunanya berperan sebagai karakter fantasi dan fiksi ilmiah, menyerupai identitas atau idola yang diperankan.

Berdasarkan pantauan detikcom di media sosial TikTok, roleplayer berperan seolah-olah dirinya adalah karakter di acara TV, movie, buku, selebriti. Mereka berakting dengan menyesuaikan gaya bicara, sampai aktivitas sehari-hari.

Pengguna roleplayer di TikTok diawali dengan berinteraksi melalui saling comply with akun satu sama lain, dilanjutkan dengan berhubungan secara fiksi berbagi roleplay lewat konten video berlatar belakang dialog, penampilan sesuai karakter, dilengkapi fitur-fitur TikTok musik, efek, dan lainnya.

Beberapa style yang saat ini paling populer adalah style Korea dan Western. Kedua style RP ini kemudian dibagi lagi menjadi kelompok karakter seperti penyanyi, aktor, boyband, hingga girlband.

Sayangnya, ada beberapa adegan berhubungan dewasa yang memang terekspos dalam pencarian roleplay TikTok.

Bahaya Mainan Roleplay pada Anak

Psikiater dr Lahargo Kembaren, SpKj mengungkapkan roleplay seperti yang dilakukan anak tersebut dapat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Bahkan pada kondisi tertentu, permainan ini dapat memicu gangguan kejiwaan.

“Pembentukan jati dirinya itu menjadi rusak karena yang tadinya harusnya sesuai dengan norma nilai tapi menjadi kacau, dan menimbulkan kebingungan terhadap masalah psikologisnya,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Minggu (18/6/2023).

“Dari aspek attachment, anak itu sangat bergantung pada figur bermakna di masa sebelumnya. Tentunya tidak baik bagi anak kalau attachment-nya dengan hal-hal imajinatif. Ini akan sangat berisiko untuk terjadinya suatu gangguan kejiwaan di kemudian hari,” terangnya.

Pasalnya, ketika anak tersebut melakukan roleplay di dunia maya, ia merasa senang dengan peran palsu yang dimainkannya. Karena situasi tersebut, muncul hormon dopamine yang membuatnya merasa nyaman. Salah satu risiko dari kebiasaan tersebut tak lain kecanduan atau kecenderungan untuk bermain lagi dan lagi.

“Dia akan merasa tenang dan nyaman sesaat, tapi ketika sudah menurun dia tidak punya cara lain lagi untuk mendapatkan ketenangan itu selain melakukan hal yang sama, sehingga terjadilah pola perilaku yang berulang-ulang,” jelas dr Lahargo.

Alih-alih bermain roleplay di dunia maya, dr Lahargo menyarankan agar permainan peran tersebut diterapkan di dunia nyata agar bisa memberikan efek positif ke perkembangan emosional dan psychological anak.

“Roleplay yang paling baik sebenarnya kan di dunia nyata. Anak punya life ability, keterampilan hidup. Keterampilan hidup itu seperti bagaimana cara berinteraksi berkomunikasi dengan orang lain, bagaimana melakukan resolusi konflik, menghadapi tekanan dari teman sebaya, bagaimana berinteraksi, berbicara dengan orang lain. Itu kan yang paling baik dilakukan di dunia nyata,” paparnya.

“Lebih banyak manfaat yang akan didapat ketika roleplay itu dilakukan di dunia nyata,” tegasnya lagi.

NEXT: Saran Psikiater untuk Orang Tua

Viral Anak Primary Roleplay di TikTok, Psikiater Wanti-wanti Bahaya yang Tak Disadari

Jakarta

Baru-baru ini jagat media sosial dibikin heboh oleh sebuah video di TikTok. Cuplikan video tersebut memperlihatkan seorang ayah yang memarahi anak perempuannya karena bermain roleplay (RP) di platform media sosial tersebut.

Setelah ditelusuri, si anak ternyata melakukan RP dengan sejumlah pengguna TikTok yang bahkan tidak dikenalnya. Parahnya lagi, konten RP yang dilakukan sudah berbau dewasa sampai-sampai bocah tersebut diceritakan sudah memiliki anak yang perannya dimainkan oleh person TikTok lain.

Fenomena ini pun menarik perhatian psikiater dr Lahargo Kembaren, SpKj. Ia menilai permainan roleplay di media sosial seperti itu bisa mengganggu perkembangan kepribadian anak.

“Jadi anak dan remaja itu jelas masih ada pertumbuhan dan perkembangannya. Pertumbuhan dan perkembangan ini bukan hanya fisik saja, tapi juga pertumbuhan dan perkembangan psychological emosional,” ungkapnya saat dihubungi detikcom, Minggu (18/6/2023).

dr Lahargo menyebut roleplay di media sosial bisa memicu terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan, seperti pelecehan seksual dan kekerasan verbal. Dampaknya bisa menimbulkan efek traumatis pada anak.

“Itu akan tersimpan di alam bawah sadar anak, menjadi traumatis gitu. Setiap anak di fase umurnya bisa berkembang ke arah positif atau negatif tergantung bagaimana interaksi dan konflik yang terjadi di fase umur itu,” paparnya.

“Misalnya di melakukan permainan roleplay tadi, pembentukan jati dirinya itu menjadi rusak karena yang tadinya harusnya sesuai dengan norma nilai tapi menjadi kacau, dan menimbulkan kebingungan terhadap masalah psikologisnya,” sambungnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan permainan roleplay seperti yang sedang viral itu berpotensi mempengaruhi kemampuan anak dalam menilai realitas.

“Kemampuan menilai realitas yang terganggu ini bisa jatuh pada keadaan yang namanya psikotik. Psikotik itu dia tidak bisa membedakan mana yang nyata dan tidak nyata karena dia semakin meyakini bahwa dia sudah memiliki ataupun menjadi seseorang dalam roleplay tersebut. Maturitas atau kematangan sel-sel sarafnya masih belum cukup untuk bisa memahami situasi ini dan dalam pertumbuhan perkembangannya juga jadinya terganggu,” pungkasnya.

Simak Video “Menakuti Bocah Pakai Suara ‘Cekikikan’ Hantu Bisa Timbulkan Trauma
[Gambas:Video 20detik]
(naf/naf)