Tag: Virus

Kronologi Pria di Peru Terinfeksi ‘Virus Baru’, Keluhkan Gejala Demam-Nyeri Otot


Jakarta

Ilmuwan baru-baru ini mengungkap virus yang belum pernah terlihat sebelumnya, menyebabkan penyakit mirip malaria dan demam berdarah dengue (DBD). Adapun virus ini terdeteksi di hutan Peru dan menginfeksi seorang pria berusia 20 tahun.

Pria tanpa disebutkan identitasnya itu pergi ke rumah sakit setelah mengalami gejala demam, menggigil, sakit kepala, nyeri otot, dan gejala lainnya selama dua hari. Dokter tidak dapat mengidentifikasi penyebab penyakit misterius yang diidap pria tersebut. Namun, penyelidikan laboratorium lebih lanjut mengungkapkan patogen yang sebelumnya tidak diketahui.

Virus ini digolongkan sebagai phlebovirus, yang menyebabkan penyakit demam akut, termasuk malaria dan demam Rift Valley. Demam Rift Valley bisa berakibat deadly jika berkembang menjadi sindrom demam berdarah, menyebabkan perdarahan dari mulut, telinga, mata, dan organ dalam.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Phlebovirus biasanya menyebar melalui gigitan serangga, seperti lalat pasir, nyamuk, atau kutu. Ada 66 spesies phlebovirus, sembilan di antaranya ditemukan menyebabkan penyakit demam di Amerika Tengah dan Selatan.

Namun dari complete spesies tersebut, hanya tiga yang terdeteksi di Peru, yakni virus Echarate (ECHV), virus Maldonado, dan virus Candiru.

Berdasarkan hasil analisis, virus yang terdeteksi Rumah Sakit De La Merced Chanchamayo pada tahun 2019 itu benar-benar baru, terbentuk oleh virus ECHV yang bertukar fragmen DNA dengan virus lain, dikenal sebagai ‘peristiwa rekombinan’.

“Temuan kami menunjukkan bahwa varian baru ECHV sedang beredar di hutan Peru tengah,” kata ilmuwan Dalam jurnal Rising Infectious Illnesses, dikutip dari Mirror. Mereka mengimbau agar kepala kesehatan seluruh dunia melakukan pemantauan ketat terhadap virus tersebut.

Juga, mereka menyoroti penyakit yang disebabkan virus baru tersebut tampak serupa dengan penyakit tropis lainnya, sehingga mungkin sulit untuk diidentifikasi.

“Karena gejala klinis dari infeksi varian ini juga [mirip dengan] demam berdarah dengue, malaria, dan penyakit menular tropis lainnya yang umum terjadi di wilayah ini, pengawasan biologis yang berkelanjutan diperlukan untuk mendeteksi patogen baru,” lanjut peneliti.

Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk menentukan seberapa luas varian baru ini di wilayah Peru, serta mengidentifikasi vektor dan reservoir potensial yang terlibat dalam penularannya.

Simak Video “Kata Kemenkes soal Keamanan Program Pengendalian DBD Lewat Wolbachia
[Gambas:Video 20detik]
(suc/kna)

Geger Pria di Peru Kena Virus Baru, Picu Penyakit Mirip Malaria dan DBD


Jakarta

Virus yang belum pernah terlihat sebelumnya yang menyebabkan penyakit mirip malaria telah terdeteksi di Peru.

Penyakit ini pertama kali terdeteksi pada seorang pria berusia 20 tahun, yang pergi ke rumah sakit setelah mengalami demam, menggigil, sakit kepala, nyeri otot, dan gejala lainnya selama dua hari.

Dokter tidak dapat mengidentifikasi penyebab penyakit misterius yang diidap pria tersebut. Akan tetapi, penyelidikan laboratorium lebih lanjut mengungkapkan patogen yang sebelumnya tidak diketahui.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Virus ini digolongkan sebagai phlebovirus, yang menyebabkan penyakit demam akut, termasuk malaria dan demam Rift Valley. Demam Rift Valley bisa berakibat deadly jika berkembang menjadi sindrom demam berdarah, menyebabkan perdarahan dari mulut, telinga, mata, dan organ dalam.

Phlebovirus biasanya menyebar melalui gigitan serangga, seperti lalat pasir, nyamuk, atau kutu. Ada 66 spesies phlebovirus, sembilan di antaranya ditemukan menyebabkan penyakit demam di Amerika Tengah dan Selatan.

Namun dari complete spesies tersebut, hanya tiga yang terdeteksi di Peru, yakni virus Echarate (ECHV), virus Maldonado, dan virus Candiru.

Lebih lanjut, virus yang terdeteksi di Rumah Sakit De La Merced Chanchamayo pada tahun 2019 itu tampaknya tidak seperti yang pernah terlihat sebelumnya. Analisis menunjukkan, virus yang benar-benar baru ini terbentuk oleh virus ECHV yang bertukar fragmen DNA dengan virus lain, dikenal sebagai ‘peristiwa rekombinan’.

Dalam jurnal Rising Infectious Illnesses, para peneliti memperingatkan virus tersebut kemungkinan sudah beredar di hutan Peru dan pemantauan harus tetap dilakukan.

Mereka juga menyoroti penyakit baru ini tampak serupa dengan penyakit tropis lainnya, sehingga mungkin sulit untuk diidentifikasi.

“Temuan kami menunjukkan bahwa varian baru ECHV sedang beredar di hutan Peru tengah,” kata mereka, dikutip dari Mirror.

“‘Karena gejala klinis dari infeksi varian ini juga [mirip dengan] demam berdarah dengue, malaria, dan penyakit menular tropis lainnya yang umum terjadi di wilayah ini, pengawasan biologis yang berkelanjutan diperlukan untuk mendeteksi patogen baru,” lanjut peneliti.

Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk menentukan seberapa luas varian baru ini di wilayah Peru, serta mengidentifikasi vektor dan reservoir potensial yang terlibat dalam penularannya.

MailOnline melaporkan, pimpinan kesehatan di Inggris, termasuk Badan Keamanan Kesehatan Inggris, telah menyerukan agar pasien dengan penyakit penyebab demam dipantau, untuk mendeteksi penyakit baru.

Simak Video “Kata Kemenkes soal Keamanan Program Pengendalian DBD Lewat Wolbachia
[Gambas:Video 20detik]
(suc/naf)

Inggris Laporkan Kasus Pertama Pressure Flu di Manusia yang Mirip Virus Babi


Jakarta

Inggris belakangan melaporkan kasus pertama manusia terinfeksi jenis flu mirip dengan virus yang saat ini beredar pada babi. Laporan di Senin (27/11/2023), menunjukkan yang bersangkutan terpapar flu jenis A(H1N2)v.

Kabar baiknya, pasien dinyatakan hanya mengalami gejala ringan dan kini sudah pulih sepenuhnya.

Badan Keamanan Kesehatan Inggris (UKHSA) mengatakan kasus tersebut terdeteksi sebagai bagian dari pengawasan rutin flu nasional dan sumber penularannya sejauh ini tidak diketahui.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Ini pertama kalinya kami mendeteksi virus ini pada manusia di Inggris, meskipun sangat mirip dengan virus yang terdeteksi pada babi,” kata direktur insiden UKHSA Meera Chand, dikutip dari Channel Information Asia, Selasa (28/11/2023).

“Kontak dekat dari kasus ini sedang ditindaklanjuti oleh otoritas kesehatan,” demikian pernyataan otoritas kesehatan setempat.

Situasinya dipantau dengan peningkatan pengawasan di ruang operasi dan rumah sakit di North Yorkshire, sebuah wilayah di Inggris utara.

Pada 2009, pandemi flu babi pada manusia menginfeksi jutaan orang. Penyebabnya adalah virus yang mengandung materi genetik dari virus yang beredar pada babi, burung, dan manusia.

UKHSA mengatakan berdasarkan informasi awal, infeksi yang terdeteksi baru-baru ini di Inggris berbeda dari 50 atau lebih kasus pressure virus Corona pada manusia yang ditemukan di tempat lain secara international sejak 2005.

Simak Video “Wanti-Wanti Peneliti Soal Flu Babi Afrika yang Masuk ke Indonesia
[Gambas:Video 20detik]
(naf/naf)

Ilmuwan Temukan Virus Mpox Makin ‘Ganas’, Lebih Mudah Infeksi Manusia


Jakarta

Para ilmuwan khawatir jenis cacar monyet atau Mpox yang lebih menular akan muncul karena terus bermutasi dan menyebar antarmanusia. Para peneliti di Inggris mengatakan bahwa virus tersebut kini bermutasi pada tingkat yang jauh lebih tinggi, dibandingkan tahun 2018.

Analisis mereka menunjukkan bahwa mutasi terutama difokuskan pada gen yang diserang oleh sistem kekebalan tubuh manusia untuk menghentikan virus agar tidak bermutasi. Hal ini bisa membantu menghindari kekebalan.

Tim juga memperkirakan cacar monyet, atau mpox, telah menyebar ke manusia setidaknya sejak tahun 2016, atau enam tahun sebelum wabah saat ini. Hal ini diungkapkan oleh para penulis dari Universitas Edinburgh.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Meskipun garis keturunan B.1 di seluruh dunia kini telah berkurang, meski belum diberantas, epidemi pada manusia yang menjadi asal muasalnya terus berlanjut,” tulis mereka yang dikutip dari Every day Mail, Senin (6/11/2023).

“Pengamatan terhadap penularan Mpox yang berkelanjutan ini menunjukkan perubahan mendasar terhadap persepsi mpox, sebagai penularan dari hewan ke manusia. Mereka menyoroti perlunya merevisi pesan kesehatan masyarakat seputar mpox serta manajemen dan pengendalian wabah,” jelasnya.

Menurut para ilmuwan, virus yang menyebar di antara manusia akan membantu mereka memperbanyak salinan dirinya sendiri. Hal itu meningkatkan risiko munculnya mutasi baru yang dapat membuat jenis virus tersebut lebih mampu menularkan atau menjadi lebih berbahaya.

Dalam studi mereka yang dipublikasikan di jurnal Science, para peneliti membandingkan urutan mpox dari tahun 2018 hingga 2022. Mereka menemukan tingkat mutasi meningkat pesat yang menurut mereka menunjukkan penularan berkelanjutan dari manusia ke manusia.

Mereka menemukan mutasi terfokus pada space genom yang ditargetkan oleh enzim sistem kekebalan tubuh manusia yang dikenal sebagai APOBEC3. Ini mampu mengubah foundation dalam kode genetik yang menghambat kemampuan virus untuk bereplikasi.

Para ilmuwan mengatakan perubahan berulang pada gen ini juga menandakan penularan mpox dari manusia ke manusia yang berkelanjutan, bukan peristiwa penularan yang berulang. Jam molekuler mereka menggunakan garis keturunan B.1 dari mpox, yang merupakan jenis di balik wabah yang sedang berlangsung di antara manusia.

Simak Video “Tambah 1 Kasus Cacar Monyet, Pasien Punya Riwayat Perjalanan
[Gambas:Video 20detik]
(sao/kna)

Ilmuwan Cemas Virus ‘Zombie’ Bangkit dari Dalam Es, Seserius Ini Dampaknya


Jakarta

Ilmuwan ketar-ketir terkait ancaman yang ditimbulkan dari mikroba purba yang kini ‘bangkit’ lagi. Mikroba tersebut diketahui telah membeku selama ribuan tahun di lapisan es Siberia dan kini mencair imbas perubahan iklim.

Seorang ahli virologi Jean-Michel Claverie mengatakan pemanasan international mencairkan es yang membeku sejak puluhan ribu tahun. Virus-virus kuno yang ikut membeku lalu mencair dapat menyebar dan mengancam kesehatan manusia.

Apabila suatu penyakit yang disebabkan oleh patogen kuno telah membunuh manusia purba, terlebih mayat mereka ikut membeku di dalam es, para ilmuwan menyebut hal ini bisa berisiko menularkan virus tersebut.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahkan virus-virus tersebut kini telah ditemukan di wol raksasa, mumi Siberia, serigala prasejarah, dan paru-paru korban Influenza yang terkubur di lapisan es Alaska. Para ilmuwan juga telah menyoroti enam patogen beku yang mereka yakini merupakan ancaman terbesar bagi umat manusia.

“Dengan perubahan iklim, kita terbiasa memikirkan bahaya yang datang dari selatan,” kata Claverie kepada Bloomberg Information, dikutip dari Every day Mail.

“Sekarang, kami menyadari mungkin ada bahaya yang datang dari wilayah utara seiring dengan mencairnya lapisan es dan melepaskan mikroba, bakteri, dan virus,” lanjutnya lagi.

Ancaman imbas patogen yang terkubur di dalam es memang nyata. Sebelumnya, pada 2016, sempat terjadi gelombang panas di Siberia yang mengaktifkan spora antraks mematikan. Patogen ini dilaporkan telah menewaskan seorang anak dan ribuan rusa kutub.

Tim Claverie sebelumnya telah menghidupkan kembali virus-virus raksasa yang berasal dari 48.000 tahun yang lalu. Dia telah memperingatkan bahwa mungkin ada lebih banyak lagi virus purba di dalam es, beberapa di antaranya berpotensi menginfeksi manusia. Adapun ‘virus raksasa’ ini sejenis pandoravirus yang dapat menginfeksi amuba.

Di samping itu, suhu bumi kini diketahui sudah 1,2 derajat celcius lebih hangat dibandingkan masa pra-industri, dan para ilmuwan telah memperingatkan bahwa Arktik atau sebuah wilayah di sekitar Kutub Utara Bumi akan mengalami musim panas tanpa es pada tahun 2030-an.

Simak Video “Perisai Kemenkes RI untuk Halau Virus Nipah
[Gambas:Video 20detik]
(suc/naf)

Ngeri, Lagi-lagi Ilmuwan Temukan Virus Baru di Titik Terdalam Lautan Bumi


Jakarta

Sebuah tim ilmuwan menemukan virus baru dengan lokasi terdalam di lautan bumi. Mereka menemukan virus tersebut di sedimen yang diambil dari kedalaman 8.900 meter di Palung Mariana di Samudra Pasifik.

Palung tersebut merupakan lokasi terdalam di Bumi, mencapai titik terendah 11.000 meter di dekat Kepulauan Mariana.

“Sepengetahuan kami, ini adalah fag terisolasi terdalam yang diketahui di lautan international,” kata ahli virologi kelautan Min Wang dalam sebuah pernyataan dikutip dari Euro Information, Jumat (29/9/2023).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tim dari Ocean College of China menerbitkan temuan ini minggu lalu di jurnal Microbiology Spectrum. Disebutkannya, virus yang baru ditemukandi lautan dalam tersebut bernama vB_HmeY_H4907. Virus ini merupakan bakteriofag, yang artinya menginfeksi dan bereplikasi di dalam bakteri.

Bakteriofag ini menginfeksi bakteri yang disebut Halomonas, yang banyak terdapat di Palung Mariana, Antartika, dan di ventilasi hidrotermal yakni celah di dasar laut tempat air panas dilepaskan. Mengacu pada analisis genom, virus ini mirip dengan inang bakterinya dan banyak ditemukan di lautan. Peneliti menyebut, bakteriofag baru ini berasal dari keluarga virus baru bernama Surviridae.

Virus ini ditemukan di zona hadal lautan, yang berada di kedalaman antara 6.000 hingga 11.000 meter dan dinamai sesuai nama dewa dunia bawah Yunani, Hades.

“Penelitian terbaru mengungkapkan betapa besarnya keragaman, kebaruan, dan signifikansi ekologis virus hadal. Namun, hanya dua jenis virus hadal yang berhasil diisolasi,” ujar para peneliti dalam penelitian tersebut.

Zona hadal merupakan rumah bagi beberapa organisme unik yang mampu beradaptasi dengan kondisi ekstrim suhu rendah, tekanan tinggi, dan minimnya cahaya di laut dalam. Kini, para ahli virologi keluatan tengah mencari virus baru lainya di lokasi yang ekstrem.

“Lingkungan yang ekstrem menawarkan prospek optimum untuk mengungkap virus baru,” pungkas Wang.

Simak Video “Perisai Kemenkes RI untuk Halau Virus Nipah
[Gambas:Video 20detik]
(vyp/suc)

Kondisi Pasien Virus Nipah di India, Ada yang Sudah Lepas Ventilator


Jakarta

Pejabat Kesehatan India menyatakan wabah virus Nipah (NiV) di Kerala dapat dikendalikan meski lebih dari 1.200 orang telah masuk dalam daftar kontak erat pasien positif.

Menteri Kesehatan Kerala, Veena George mengatakan, tidak ada kasus baru infeksi virus Nipah yang dilaporkan hingga Senin (18/9). Selain itu, 61 sampel dari kontak yang berisiko tinggi seperti suster atau petugas kesehatan telah terbukti negatif.

Sementara itu, dari enam warga Kerala yang terkonfirmasi positif, dua diantaranya meninggal dunia. Adapun empat pasien lainnya menjalani perawatan. Meski demikian, Veena George mengatakan kondisi pasien-pasien tersebut membaik.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Hal yang sangat positif adalah keempat pasien yang tengah menjalani perawatan sekarang dalam kondisi stabil dan seorang bocah laki-laki usia 9 tahun yang telah menggunakan alat bantu ventilator, secara klinis membaik,” terang Veena, dikutip dari Fox Information.

Bahkan, pasien anak yang terinfeksi virus Nipah itu dikabarkan tidak perlu lagi menggunakan ventilator.

“Dia sekarang sudah lepas dukungan ventilator dan diberikan sedikit bantuan oksigen,” ucap Veena George.

Sebanyak 1.233 orang di Kerala masuk dalam daftar kontak erat pasien virus Nipah di India. Saat ini, pelonggaran pada sembilan wilayah di Kerala yang diisolasi pun telah dilakukan. Namun, aturan menggunakan masker dan menjaga jarak masih tetap diperlukan.

Berdasarkan penjelasan Facilities for Illness Management and Prevention (CDC), virus Nipah bersifat zoonotik yang artinya bisa ditularkan dari hewan ke manusia. Secara alami, kelelawar buah disebut sebagai pembawa utama (major service) virus Nipah.

“Virus Nipah juga diketahui menyebabkan penyakit pada babi dan manusia,” jelas CDC. Infeksi virus Nipah atau NiV dikaitkan juga dengan pembengkakan otak atau ensefalitis dan bisa menyebabkan kondisi sakit sedang hingga parah, bahkan kematian.

Simak Video “Langkah India Usai 2 Orang Dilaporkan Meninggal Akibat Virus Nipah
[Gambas:Video 20detik]
(suc/kna)

Berpotensi Jadi Pandemi Baru, Virus Nipah Bisa Picu Radang Otak Akut


Jakarta

India telah menutup sekolah, kantor, dan transportasi umum serta memeriksa ratusan orang dalam upaya untuk melacak dan mengatasi wabah virus Nipah yang telah menewaskan dua orang. Virus ini dapat membunuh tiga dari empat orang yang terinfeksi dan para ahli menganggap virus ini berpotensi menimbulkan pandemi baru.

Dikutip dari laman resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Virus Nipah dapat ditularkan ke manusia dari hewan, seperti kelelawar dan babi, atau melalui makanan yang terkontaminasi. Virus ini juga dapat ditularkan secara langsung dari manusia ke manusia.

Hingga kini, belum ada pengobatan atau vaksin yang tersedia untuk manusia atau pun hewan. Penanganan utama untuk manusia adalah perawatan pendukung saja. Kasus penularan Nipah dari manusia ke manusia banyak terjadi di antara keluarga dan perawat orang yang terinfeksi.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Infeksi pada manusia dapat berkisar dari infeksi tanpa gejala, infeksi saluran pernapasan akut, hingga peradangan otak (ensefalitis) yang deadly.

Orang yang terinfeksi akan mengalami gejala awal, seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, muntah, dan sakit tenggorokan. Gejala-gejala tersebut dapat diikuti dengan pusing, mengantuk, perubahan kesadaran, dan tanda-tanda neurologis yang mengindikasikan ensefalitis akut.

Ensefalitis dapat terjadi pada kasus yang parah. Kondisi ini dapat berkembang menjadi koma dalam waktu 24 hingga 48 jam.

Kebanyakan orang yang selamat dari ensefalitis akut akan sembuh complete, tetapi sekitar 20% pasien yang selamat mengalami konsekuensi neurologis residual seperti gangguan kejang dan perubahan kepribadian.

Tingkat kematian kasus ini diperkirakan mencapai 40% hingga 75%. Angka ini dapat bervariasi dari satu wabah ke wabah lainnya, tergantung pada kemampuan daerah setempat untuk melakukan pengawasan epidemiologi dan manajemen klinis.

Simak Video “Langkah India Usai 2 Orang Dilaporkan Meninggal Akibat Virus Nipah
[Gambas:Video 20detik]
(kna/kna)

8 Virus Purba Ini Bisa ‘Bangkit’ Jika Es Abadi Mencair

Jakarta

Pemanasan international memunculkan kekhawatiran baru di kalangan ilmuwan. Mereka cemas permafrost/es abadi yang membeku selama bertahun-tahun mencair dan melepaskan virus-virus purba yang terkurung di dalamnya.

“Risiko ini pasti akan meningkat dalam konteks pemanasan international, di mana pencairan lapisan es akan terus meningkat, dan lebih banyak orang akan menghuni Kutub Utara,” ujar Jean-Michel Claverie, ahli biologi komputasi di Universitas Aix-Marseille di Prancis yang mempelajari virus purba dan eksotis, dikutip dari CNN, Minggu (30/7/2023).

Memang, virus tersebut sudah tersegel dalam permafrost selama ribuan tahun. Tapi peneliti di Pusat Penelitian Gabungan Komisi Eropa menemukan sekitar tiga persen dari virus purba itu bisa menjadi dominan setelah dilepaskan dari es. Artinya, patogen ‘penjelajah waktu’ itu memiliki risiko memicu perubahan pada ekologi sekaligus mengancam kesehatan manusia.

Berikut 8 virus purba yang bisa ‘bangkit’ jika permafrost mencair.

1. Pithovirus sibericum

Ini adalah salah satu jenis virus terbesar yang pernah ditemukan. Dengan panjang sekitar 1,5 mikrometer, virus ini memiliki ukuran yang hampir sama dengan bakteri kecil dan termasuk dalam kategori ‘virus raksasa’ atau virus DNA beruntai ganda yang dapat dilihat di bawah mikroskop cahaya.

2. Mollivirus sibericum

Virus ini ditemukan membeku dalam sampel permafrost Siberia yang berusia 30 ribu tahun, sama seperti Pithovirus sibericum. Namun, memiliki ukuran yang lebih kecil yakni 0,6-1,5 mikrometer.

Mollivirus sibericum berbentuk kasar dan dikelilingi lapisan pelindung berbulu. Virus ini juga bisa menghasilkan 200 hingga 300 partikel virus baru dari setiap amuba yang diinfeksinya.

3. Pithovirus mammoth

Pithovirus mammoth adalah salah satu jenis Pithovirus yang tercatat dan diekstraksi dari gumpalan wol mammoth yang membatu berusia 27 ribu tahun. Wol tersebut ditemukan di tepi Sungai Yana di Timur Jauh Rusia.

Virus ini memiliki partikel besar sepanjang 1,8 mikrometer dan memiliki struktur seperti gabus yang mirip dengan Pithovirus sibericum.

4. Pandoravirus mammoth

Virus yang berasal dari genus Pandoraviridae ini merupakan mayoritas virus yang diangkat dari permafrost. Virus raksasa ini menginfeksi amuba dan memiliki partikel besar berbentuk amphora yang panjangnya mencapai 1,2 mikrometer.

Sama seperti Pithovirus mammoth, virus ini ditemukan pada gumpalan wol mammoth di tepi Sungai Yana. Virus ini juga ditemukan pada isi perut mammoth yang membatu berusia 28.600 tahun di Kepulauan Lyakhovsky di lepas pantai timur laut Rusia.

5. Pandoravirus yedoma

Ini adalah virus tertua yang dibangkitkan dari permafrost hingga saat ini. Patogen ini berusia 48.500 tahun dan ditemukan di endapan es di bawa danau di Yukechi Alas, di Timur Jauh Rusia.

Pandoravirus yedoma memiliki partikel besar berbentuk telur dengan panjang 1 mikrometer. Amuba adalah salah satu inang bagi virus ini.

6. Megavirus mammoth

Megavirus mammoth adalah virus purba pertama yang ditemukan di permafrost. Virus yang masuk dalam keluarga Mimiviridae ini ditemukan dalam air menara pendingin di Bradford, Inggris, pada 1992.

Virus ini menginfeksi amuba dan memiliki partikel berdiameter 0,5 mikrometer. Ia juga terbungkus dalam kapsul dengan 20 sisi segitiga yang identik.

NEXT: Pacmanvirus Lupus dan Cedratvirus lena

Alert! WHO Temukan Puluhan Kucing di Polandia Mati Akibat Virus Mematikan


Jakarta

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan puluhan kucing di Polandia baru-baru ini mati setelah tertular jenis flu burung yang sangat mematikan. Kejadian itu sangat tidak biasa sehingga membuat WHO mendalami kasusnya.

Dikutip dari Dwell Science, WHO mengatakan bahwa sejak otoritas kesehatan Polandia menginformasikan bulan lalu tentang kematian kucing yang tidak biasa di seluruh negeri dengan 29 kucing positif flu burung H5N1.

Diklasifikasikan sebagai virus flu burung yang sangat menular, H5N1 diketahui menyebabkan penyakit parah dan tingkat kematian yang tinggi pada hewan yang terinfeksi. Virus ini juga dapat menginfeksi berbagai burung liar, beberapa di antaranya dapat menyebarkan patogen tanpa jatuh sakit sendiri, dan serangga tersebut terkadang melompat ke mamalia, termasuk cerpelai, anjing laut, singa laut, dan kucing bahkan manusia.

“Infeksi Flu Burung sporadis pada kucing sebelumnya telah dilaporkan, tetapi ini adalah laporan pertama dari tingginya jumlah kucing yang terinfeksi di wilayah geografis yang luas di suatu negara,” kata WHO dalam sebuah pernyataan.

WHO tengah menyelidiki sumber paparan kucing terhadap virus. Beberapa kucing mengalami gejala yang parah termasuk kesulitan bernapas, diare berdarah, dan tanda-tanda neurologis, dengan kerusakan yang cepat dan kematian pada beberapa kasus.

WHO menyebut Polandia adalah negara pertama yang melaporkan jumlah tinggi kucing yang terinfeksi flu burung di wilayah yang luas.

Analisis subset dari sampel virus menunjukkan bahwa mereka sangat terkait satu sama lain dan mirip dengan virus H5N1 yang telah beredar pada burung liar dan memicu wabah pada unggas di Polandia.

Pada 12 Juli, WHO mengatakan tidak ada kontak manusia dari kucing yang terinfeksi yang melaporkan gejala. WHO menekankan risiko infeksi (tertular) manusia setelah terpapar kucing yang terinfeksi sangat kecil kemungkinannya.

Simak Video “Muncul Wabah Flu Burung Pada Kucing di Polandia, WHO: Masih Diinvestigasi
[Gambas:Video 20detik]
(kna/kna)