Tag: Banyak

Hampir 50 Ribu Warga AS Bunuh Diri pada 2022, Paling Banyak dari Kelompok Ini


Jakarta

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) baru-baru ini melaporkan, hampir 50 ribu warga AS meninggal dunia karena bunuh diri pada 2022. Peningkatan ini mulai terjadi pada tahun 2021 dengan complete 48.183, yang kemudian meningkat sebesar 2,6 persen pada 2022 menjadi 49.449 kasus.

Menurut laporan CDC, orang dewasa berusia 65 tahun ke atas mengalami peningkatan kematian akibat bunuh diri terbesar dari semua kelompok usia pada 2021 hingga 2022. Jumlah kenaikan bahkan mencapai 8,1 persen menjadi 10.433.

Sementara anak-anak dan dewasa muda berusia 10 hingga 24 tahun mengalami penurunan terbesar selama rentang waktu tersebut dari semua kelompok usia, dengan penurunan 8,4 persen menjadi 6.529 kematian akibat bunuh diri.

Hanya saja, sebuah studi CDC yang diterbitkan pada Juni menemukan bahwa tingkat bunuh diri di antara kelompok usia tersebut cenderung meningkat selama dua dekade terakhir. Jumlah telah meningkat 62 persen dari 2007 hingga 2021.

Penelitian juga menunjukkan kesehatan psychological remaja mengalami krisis secara lebih umum, dengan jumlah yang sangat memprihatinkan di sekitar remaja perempuan.

Sebuah survei CDC pada Maret menemukan, sekitar satu dari tiga anak perempuan sekolah menengah di AS secara serius memikirkan percobaan bunuh diri. Lebih dari separuh gadis remaja atau 57 persen melaporkan merasa terus-menerus sedih atau putus asa.

Sementara itu, orang dewasa berusia 24 hingga 44 tahun mengalami jumlah kematian bunuh diri terbesar dari semua kelompok umur dengan 16.843. Ini menandai peningkatan hanya 0,7 persen dari tahun lalu.

Apa Penyebabnya?

Adapun faktor paling utama penyebab kasus bunuh diri tinggi di AS adalah akses senjata dan masalah kesehatan psychological, seperti depresi.

“Kesehatan psychological telah menjadi tantangan kesehatan masyarakat dan masyarakat yang menentukan di zaman kita. Terlalu banyak orang dan keluarga mereka menderita dan merasa sendirian,” kata Ahli Bedah Umum Dr Vivek Murthy dalam sebuah pernyataan dikutip dari CBS Information.

Murthy mengatakan, angka-angka terbaru dari laporan CDC adalah pengingat serius tentang betapa mendesaknya memperluas akses ke perawatan kesehatan psychological. Masyarakat perlu mengatasi akar penyebab perjuangan kesehatan psychological dan menyadari pentingnya memeriksa serta mendukung satu sama lain.

“Sembilan dari sepuluh orang Amerika percaya Amerika sedang menghadapi krisis kesehatan psychological. Information kematian bunuh diri baru yang dilaporkan oleh CDC menggambarkan alasannya,” kata Sekretaris Layanan Kesehatan dan Kemanusiaan Xavier Becerra dalam sebuah pernyataan.

“Satu nyawa hilang karena bunuh diri adalah terlalu banyak. Namun, terlalu banyak orang yang masih percaya meminta bantuan adalah tanda kelemahan,” ujarnya.

Sejak 2000, kecuali pada 2019 dan 2020, information CDC menunjukkan kematian akibat bunuh diri di AS terus meningkat. Kondisi itu membuat para pejabat mendesak sumber daya kesehatan psychological yang lebih baik.

“Meningkatnya kasus bunuh diri yang meresahkan membutuhkan tindakan segera di seluruh masyarakat kita untuk mengatasi hilangnya nyawa yang mengejutkan dari tragedi yang dapat dicegah,” kata Kepala Petugas Medis CDC Dr Debra Houry.

Pada Juni, CDC menggunakan information yang dikumpulkan pada 2020 untuk memeriksa tingkat depresi. Dari hasil tersebut ditemukan 18,4 persen orang dewasa AS atau hampir satu dari lima orang telah dilaporkan pernah didiagnosis mengidap depresi.

CATATAN: Informasi ini tidak untuk menginspirasi bunuh diri. Jika Anda memiliki pikiran untuk bunuh diri, segera cari bantuan dengan menghubungi psikolog atau psikiater terdekat. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami tanda peringatan bunuh diri, bisa hubungi Hotline Kesehatan Jiwa Kemenkes 021-500-454.

Simak Video “Respons WHO soal Klaim AS yang Sebut Covid-19 Bocor dari Lab Wuhan
[Gambas:Video 20detik]
(sao/vyp)

Pantas Panjang Umur! Makin Banyak Warga Jepang yang Ogah Merokok, Ini Sebabnya


Jakarta

Jumlah pria dan wanita yang merokok di Jepang tercatat menurun sepanjang 2022, mengacu pada information dari survei oleh Kementerian Kesehatan. Kira-kira, apa yang berhasil membuat warga Jepang menjadi ogah merokok?

Survei tersebut sekaligus menyoroti peningkatan kesadaran kesehatan masyarakat berkenaan dengan undang-undang yang direvisi untuk menindaklanjuti para perokok pasif. Tercatat, tingkat merokok pria turun 3,4 poin persentase dari survei sebelumnya pada 2019 menjadi 25,4 persen. Sedangkan pada wanita, tingkat merokok turun 1,1 poin menjadi 7,7 persen.

Survei Kementerian Kesehatan, Perburuhan, dan Kesejahteraan mengartikan ‘perokok’ sebagai responden berusia 20-an ke atas yang mengaku merokok setiap hari atau kadang-kadang merokok di beberapa hari tertentu saja.

Untuk kelompok laki-laki, information pada 2022 menunjukkan penurunan jumlah perokok laki-laki menjadi hanya satu dari empat orang. Pada 2001, survei serupa sempat dilakukan dan ditemukan bahwa satu dari dua orang merokok, dengan jumlah persentase perokok laki-laki sebesar 48,4 persen.

Undang-undang promosi kesehatan yang direvisi berlaku mulai April 2020. Di antaranya, undang-undang tersebut memuat larangan merokok di dalam ruangan di banyak tempat. Aturan tersebut juga mewajibkan perusahaan yang mengizinkan merokok dalam ruangan untuk menyediakan ruang terpisah untuk perokok.

Survei menunjukkan tingkat penggunaan tembakau tertinggi ada di kelompok pria berusia 40-an, yaitu sebesar 34,6 persen, diikuti oleh 32,6 persen pria berusia 50-an dan 29,9 persen pria berusia 30-an.

Sedangkan di kelompok wanita, mereka yang berusia 50-an merupakan kelompok terbesar sebanyak 12,0 persen. Sedangkan mereka yang berusia 40-an mencapai 11,6 persen dan wanita berusia 30-an mencapai 9 persen.

Sementara tingkat merokok di antara orang-orang berusia 30-an hingga 50-an sangat tinggi, hampir semua kelompok umur mencatat penurunan dari survei dibandingkan survei sebelumnya pada 2019.

Simak Video “Marlboro Akan Buat Rokok Authorized untuk Anak-anak
[Gambas:Video 20detik]
(vyp/kna)

Banyak Pasien Lengthy COVID-19 di RI Datang ke RS, Ngeluh Sering Lemas-Nyeri Dada


Jakarta

Umat manusia masih belum sepenuhnya bebas dari ancaman COVID-19. Terbaru, masyarakat dunia dibikin heboh oleh kemunculan kasus Lengthy COVID.

Spesialis paru dr Erlina Burhan, SpP(Ok), mengungkapkan Lengthy COVID adalah sebuah kondisi yang secara nyata mengancam kesehatan.

“Lengthy COVID itu betulan ada. Pasien praktik saya, pasien praktik swasta, banyak itu yang datang. Jadi memang banyak hal yang tidak kita duga-duga dengan COVID ini, salah satunya adalah Lengthy COVID yang sampai saat ini masih kita pelajari bagaimana cara mengatasinya,” papar dr Erlina saat ditemui di aula FKUI, Salemba, Senin (31/7/2023).

Ia mengungkapkan untuk bisa mendiagnosis Lengthy COVID, dibutuhkan pendekatan yang multi-disiplin. Sebab, pasien Lengthy COVID cenderung menunjukkan gejala yang berbeda-beda.

“Gejalanya berbeda-beda, ada yang sesak, ada yang nyeri dada, ada yang pusing, ada yang lemas, ada yang lupa. Banyak sekali yang tiba-tiba ‘Saya lupa, mau ngomong apa lupa’. Jadi tata laksananya tergantung dari gejalanya,” ungkapnya.

Lebih lanjut, dr Erlina menyebut orang usia tua dan komorbid rentan terkena Lengthy COVID.

“Kita masih teliti dan pelajari, kira-kira apa sih yang bisa meminimalisir Lengthy COVID ini,” tandasnya.

Simak Video “Masyarakat Diimbau Waspada Usai Temuan Covid-19 Paling Bermutasi di RI
[Gambas:Video 20detik]
(ath/naf)

Ternyata Ini Alasan Anak Muda RI Makin Banyak yang Merokok

Jakarta

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, persentase penduduk Indonesia dengan usia lebih dari lima tahun yang merokok sebesar 23,25 persen pada 2022. Angka itu ‘hanya’ turun 0,55 persen poin dari tahun lalu di 23,78 persen.

Sementara perokok dewasa di Indonesia diperkirakan mencapai 68 juta orang. Rupanya, penggunaan rokok yang masif juga berkaitan dengan kandungan bahan perasa di sejumlah rokok tembakau kretek maupun putih.

Mirisnya, ini diyakini sebagai salah satu faktor tren perokok di usia muda tak bisa dihindari.

Riset terkait penggunaan rokok di Indonesia yang dirilis jurnal BMJ menunjukkan keterkaitan di antara keduanya. Hal ini juga mengacu pada pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang menekankan bahan kimia perasa teridentifikasi sebagai promosi penggunaan tembakau.

Para peneliti di Institute of International Tobacco Management Johns Hopkins Bloomberg Faculty of Public Well being menemukan beberapa jenis rokok di Indonesia memiliki kadar perasa kimia yang tinggi.

“Keberadaan berbagai macam perasa dan ketersediaannya yang luas ini mengkhawatirkan bukan hanya karena senyawa perasa memiliki kaitan dengan berbagai masalah kesehatan (seperti edema paru-paru berdarah, infeksi saluran pernafasan dan peradangan akut) , tetapi juga karena adanya variasi rasa ini mendorong penggunaan dan memperluas pasar konsumen produk tembakau yang mematikan,” terang para ahli.

Adapun beberapa perasa kimiawi yang dipromosikan selama ini adalah senyawa cengkeh (seperti eugenol), menthol, dan perasa kimiawi tambahan lainnya.

IGTC meneliti setidaknya 24 jenis merek kretek dan rokok putih. Peneliti kemudian mencari kadar kandungan perasa kimia di tiap batangnya. Ada 180 perasa kimia particular person yang diteliti, di antaranya eugenol (senyawa perasa cengkeh), empat jenis senyawa cengkeh yang lain, dan menthol.

Kandungan eugenol amat tinggi dilaporkan pada 24 merek kretek yaitu 2,8-33,8 mg per batang. Tetapi, laporan yang tidak ditemukan di semua merek rokok putih.

Sementara mentol terdeteksi pada 14 dari 24 jenis kretek, dengan tingkat yang bervariasi antara 2,8 hingga 12,9 mg per batang. Selain itu, mentol juga ditemukan pada 5 dari 9 merek rokok putih, dengan nilai dari 3,6 hingga 10,8 mg per batang. Perasa kimia lainnya, seperti rasa buah-buahan, juga ditemukan pada banyak kretek dan rokok putih yang diteliti.

“Perasa meningkatkan daya tarik produk tembakau dan tingkat konsumsinya. Hal ini cukup jelas dari hubungan antara keberadaan zat perasa di produk tembakau dengan biaya kesehatan dan sosial yang menghabiskan sekitar US$ 1,6 juta pada tahun 2019 dan jumlah kematian yang berkaitan dengan tembakau sekitar 225.000 per tahun,” ujar Beladenta Amalia peneliti post-doctoral di IGTC dan juga co-author dalam penelitian ini.

NEXT: Pesan untuk Pemerintah

Populasi Jepang Anjlok, Warga di Kota Ini Kepingin Punya Banyak Anak

Jakarta

Jepang dilanda krisis populasi imbas banyak warganya enggan memiliki anak. Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida pun kemudian menjanjikan langkah-langkah ‘dimensi baru’ untuk mendongkrak angka kelahiran yang anjlok di negaranya. Namun di tengah situasi tersebut, ada satu kota yang masih populasinya justru terus bertambah. Bagaimana bisa?

Diketahui, jumlah kelahiran bayi di Jepang mencapai jumlah kurang dari 800.000 pada tahun lalu. Mengacu pada knowledge pemerintah, angka tersebut merupakan rekor terendah sejak Jepang pertama kali menghitung angka kelahiran pada 1899.

Bak terlepas dari situasi suram tersebut, masih ada beberapa bagian Jepang yang justru mencatat peningkatan populasi, karena angka kelahiran yang meningkat atau migrasi warga dari wilayah lain.

Di kota Akashi bagian barat misalnya, terlihat masih banyak anak bermain memanjat wahana gymnasium di hitam, bermain-main di zona permainan, atau asyik membaca buku di rak-rak yang disediakan dalam ruangan bersih dan terang di pusat penitipan anak.

“Kami mendapat banyak dukungan untuk penitipan anak dan hal-hal lain, yang bahkan membuat teman-teman saya iri, jadi saya tidak khawatir,” ungkap Haruka Okamoto, seorang warga yang tengah menemani putrinya bermain dikutip dari NPR, Kamis (29/6/2023).

“Kami sedang membangun rumah di Akashi. Ini adalah kota yang membuatku berpikir ingin tinggal di sini selamanya,” sambungnya.

Anak-anak di Akashi mendapatkan perawatan medis free of charge hingga usia 18 tahun. Selain itu, mereka mendapatkan makan siang sekolah free of charge hingga usia 15 tahun.

Keluarga dengan dua anak atau lebih mendapatkan taman kanak-kanak dan taman kanak-kanak free of charge. Bayi di bawah usia 1 tahun mendapatkan popok free of charge, diantarkan ke rumah masing-masing keluarga oleh bidan. Semua layanan tersebut berikan tanpa memandang penghasilan warga berkeluarga.

Guru-guru di Swiss Ngeluh Banyak Murid 11 Tahun Masih Pakai Popok ke Sekolah

Jakarta

Masih ada banyak murid di Swiss yang pergi ke sekolah mengenakan popok. Hal ini lantas banyak dikeluhkan oleh guru-guru setempat.

“Anak-anak pergi ke sekolah semenjak usia empat tahun sekarang. Anda mungkin akan menemukan beberapa murid masih menggunakan popok,” ucap pemimpin dari Federasi Guru Swiss Dagmar Rosler dikutip dari NY Publish, Selasa (20/6/2023).

“Ketika ada anak berusia 11 tahun pergi ke sekolah menggunakan popok. Hal tersebut sudah menjadi tren yang mengkhawatirkan,” sambungnya.

Hal ini menjadi keluhan bukan hanya karena tentang usia murid, namun juga masih banyak murid yang bergantungan pada popok. Padahal murid tidak memiliki masalah kesehatan apa pun.

“Orang tua harus memiliki tanggung jawab untuk memastikan anak usia sekolah tidak menggunakan popok lagi. Guru tidak ada di sekolah untuk mengganti popok murid. Itu sudah melewati batas,” tambah Rosler.

Seorang pakar perkembangan anak Rita Messmer bahkan mengaku pernah memiliki pasien anak berusia 11 tahun yang tak pernah diajari untuk menggunakan rest room.

“Jumlah anak yang memakai popok di sekolah telah melonjak,” ucap Messmer.

Ilmuwan pendidikan di Swiss juga Margrit Stamm juga menyoroti hal tersebut. Menurutnya banyak orang tua di Swiss yang menganggap popok adalah ‘pakaian dalam biasa’.

“Popok telah berkembang pesat selama beberapa dekade. Saat ini popok dipakai seperti pakaian biasa. Jadi anak-anak dibiasakan dengan popok,” ucap Stamm.

“Beberapa orang tua membiarkannya karena popok dianggap sebagai bantuan yang nyaman. Ini tidak dianggap sebagai masalah akhir-akhir ini,” pungkasnya.

Simak Video “Indonesia Masih Jauh dari Goal Herd Immunity
[Gambas:Video 20detik]
(avk/vyp)