Tag: Kabar

Kabar Terbaru Luhut Pasca Diperbolehkan Pulang dari RS di Singapura


Jakarta

Menkomarinves Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan kabar terbarunya pasca mendapatkan perawatan intensif di Singapura. Ia mengatakan sejak tiga hari lalu sudah diperbolehkan keluar dari Basic Hospital Singapore.

Meski begitu, Luhut masih belum bisa kembali ke Indonesia. Sebab, dirinya masih harus menjalani rawat jalan untuk memastikan kondisinya pulih sepenuhnya.

“Bicara soal kondisi fisik saat ini, Puji Tuhan saya senang sekali sudah bisa mulai berolahraga secara intens,” ungkap Luhut dalam postingan terbarunya di Instagram pribadi, seperti dilihat detikcom Sabtu (18/11/2023).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Saya sudah tiap hari jalan sekarang. Ya bertahap, satu setengah kilometer, dua kilometer. Saya tadi sudah mulai angkat beban sedikit, ya sudah mulai sedikit plank juga tadi walaupun baru 15 detik,” sambungnya.

Luhut mengungkapkan dirinya sangat senang sekali sudah bisa kembali berolahraga. Selama mendapatkan perawatan intensif, ia merasa tidak ada banyak perbedaan kondisi pasca sakit.

Hanya saja, penampilan Luhut sudah terlihat sedikit berbeda. Rambutnya hampir seluruhnya memutih.

“Yang beda hanya warna rambut saja perlu disemir ulang. Warna rambut yang berbeda ini barangkali sebuah isyarat bahwa sudah serindu itu saya dengan suasana di Indonesia,” bebernya.

Sebelumnya, Luhut telah menjalani perawatan intensif selama hampir satu bulan. Proses pemilihan pasca mengalami kelelahan luar biasa dan kondisinya terus berangsur membaik hingga sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit.

Simak Video “Respons Bio Farma soal Luhut Bawa Oleh-oleh Kerja Sama dengan Pfizer
[Gambas:Video 20detik]
(sao/naf)

Mohon Maaf yang Pernah COVID-19! Studi Bawa Kabar Tak Enak Lagi


Jakarta

Sejumlah orang yang pernah terkena COVID-19 mengalami lengthy COVID atau gejala berkepanjangan. Adapun salah satu gejala yang dikeluhkan berupa masalah kognitif seperti kabut otak atau mind fog.

Sebuah studi baru yang diterbitkan di Nature Medication, mengamati lebih dari 1.800 orang dewasa yang dirawat di rumah sakit karena COVID. Dalam penelitiannya, ditemukan peningkatan kadar dua protein, yakni fibrinogen dan D-dimer, sering terjadi pada mereka dengan lengthy COVID yang memengaruhi otak.

Kedua protein tersebut merupakan tanda adanya penggumpalan darah di dalam tubuh. Menurut Max Taquet, penulis studi di Universitas Oxford, pasien dengan kadar fibrinogen yang tinggi dapat mengalami pembekuan darah di otak yang menyebabkan masalah kognitif.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara peningkatan kadar D-dimer juga dapat menyebabkan pembekuan darah di paru-paru yang dapat memicu komplikasi, seperti mengurangi aliran darah ke otak dan juga menyebabkan kelelahan dan sesak napas.

Studi tersebut menemukan pasien dengan D-dimer konsentrasi tinggi cenderung mengalami kelelahan dan sesak napas pasca-COVID.

baca juga

“Individu dengan kadar D-dimer yang tinggi tidak hanya lebih rentan terhadap kabut otak tetapi juga menunjukkan peningkatan risiko gangguan pernafasan,” kata Taquet, dikutip dari The Unbiased.

Studi tersebut didasarkan pada pemikiran yang muncul saat puncak pandemi COVID-19 menyebabkan beberapa pasien mengalami gumpalan kecil di paru-paru dan di otak. Kondisi tersebut dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk masalah memori jangka panjang, konsentrasi dan berpikir.

“Ini adalah langkah maju yang penting dalam pemahaman kita tentang stratifikasi lengthy Covid dan, mungkin, beberapa mekanisme yang mendasarinya, mereka berpendapat bahwa kasus untuk mendukung kemungkinan masukan dari efek pada jalur pembekuan,” kata Danny Altmann, seorang profesor imunologi di Imperial Faculty London, dan pakar lengthy COVID terkemuka,

Lebih lanjut, temuan ini menunjukkan pengujian kadar protein darah pasien yang dapat memperingatkan dokter jika pasien tersebut harus dirawat imbas pembekuan darah sejak dini.

Apalagi jika pasien tersebut pernah terkena COVID-19 yang paling mungkin mengalami kabut otak dan gejala lengthy COVID lainnya.

Sejak tahun 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan hampir 36 juta orang di kawasan Eropa diyakini telah mengalami masalah kesehatan jangka panjang atau lengthy COVID, setelah terinfeksi virus tersebut.

baca juga

Simak Video “BPJS Kesehatan Tanggung Biaya Perawatan Pasien Covid-19
[Gambas:Video 20detik]
(suc/naf)

Studi Bawa Kabar Nggak Enak, Ini yang Terjadi pada Tubuh Pasca Kena COVID-19


Jakarta

Beberapa orang yang pernah terkena COVID-19 mengalami gejala berkepanjangan atau disebut lengthy COVID. Dalam kondisi sudah sembuh dari COVID-19, mereka tetap merasakan sejumlah gejala yang berlangsung dalam waktu lama.

Sebuah studi yang diterbitkan di jurnal ilmiah Lancet Respiratory, mengamati 259 pasien yang sakit parah karena COVID-19, sehingga mereka perlu dirawat di rumah sakit. Lima bulan setelah pulang dari RS, pemindaian MRI pada organ-organ utama mereka menunjukkan perbedaan signifikan dibanding mereka yang tak pernah terkena COVID.

Dampak paling besar terlihat pada paru-paru, saat pemindaian 14 kali lebih mungkin menunjukkan keabnormalan. Pemindaian MRI juga tiga kali lebih mungkin untuk menunjukkan suatu abnormalitas pada otak, serta dua kali lebih mungkin pada ginjal pada di pasien yang mengalami COVID parah. Tidak ada perbedaan signifikan dalam kesehatan jantung atau liver.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adapun temuan-temuan ini adalah bagian dari studi yang lebih besar untuk mengamati dampak jangka panjang COVID pada pasien yang dirawat di rumah sakit, dikenal sebagai studi Phosp-COVID.

“Lima bulan setelah dirawat di rumah sakit karena COVID, kami menemukan lebih banyak abnormalitas di paru-paru, otak, dan ginjal pada pasien-pasien tersebut dibandingkan grup yang tidak pernah mengalami COVID,” ungkap salah satu peneliti utama dalam studi tersebut, Dr Betty Raman, dari Universitas Oxford, dikutip dari BBC.

“Usia pasien, seberapa parah COVID mereka, serta apakah mereka juga mengidap penyakit lain pada waktu yang sama, semuanya menjadi faktor signifikan dalam apakah kami menemukan kerusakan pada organ-organ penting ini di dalam tubuh,” lanjutnya lagi.

Peneliti menemukan, beberapa gejala cocok dengan tanda-tanda kerusakan organ yang diungkap oleh pemindaian MRI, misalnya dada sesak dan batuk-batuk dengan abnormalitas di paru-paru. Namun, tidak semua gejala yang dialami mereka yang mengalami lengthy COVID dapat secara langsung dihubungkan dengan yang terlihat pada pemindaian.

Dr Raman mengatakan, kelainan pada lebih dari satu organ lebih umum terjadi pada orang yang pernah dirawat di rumah sakit dan masih melaporkan masalah kesehatan fisik dan psychological setelah mereka pulih dari infeksi awal.

“Apa yang kami lihat adalah orang-orang dengan kelainan multi-organ pada MRI, yaitu mereka punya lebih dari dua organ yang dampak, empat kali lebih mungkin melaporkan gangguan psychological dan fisik yang parah dan sangat parah,” ujarnya.

“Temuan kami juga menyoroti perlunya layanan tindak lanjut multidisiplin jangka panjang yang berfokus pada kesehatan paru dan ekstraparu (ginjal, otak, dan psychological), khususnya bagi mereka yang dirawat di rumah sakit karena COVID,” sambungnya lagi.

Di sisi lain, Prof Chris Brightling, dari Universitas Leicester dan pemimpin penelitian Phosp-COVID, mengatakan penelitian ini adalah bagian dari upaya yang lebih luas untuk memahami kelompok gejala berbeda yang membentuk sindrom yang dikenal sebagai lengthy COVID.

Simak Video “BPJS Kesehatan Tanggung Biaya Perawatan Pasien Covid-19
[Gambas:Video 20detik]
(suc/vyp)

Kabar Terbaru Panji Petualang yang Idap Diabetes hingga BB Turun Drastis

Jakarta

Panji Petualang buka-bukaan soal kondisi kesehatannya. Beberapa waktu lalu perubahan tubuh Panji yang semakin kurus menjadi sorotan masyarakat.

Dalam sebuah kesempatan ia mengaku bahwa beberapa bulan terakhir ia mengidap penyakit diabetes. Panji mengatakan bahwa ia mendapatkan genetik diabetes dari ayahnya. Tidak hanya itu saja pola makan buruk yang sempat ia jalani juga membuat tubuhnya lebih drop.

“Jadi memang badan saya sekarang makin kurus awalnya gejala diabetes ada historical past dari bapak diabetes. Jadi nurun ke saya, dan pola makan saya sempat nggak bener akhirnya gula darah saya naik dan bikin badan drop,” ucap Panji dalam salah satu video di kanal Youtube-nya.

“Akhirnya sering lemas, berat badan drastis turun, sekarang lagi juga mulai terapi,” sambungnya.

Tubuh Makin Drop ketika Digigit Ular

Selain diabetes, Panji mengatakan bahwa kondisinya juga makin buruk usai digigit ular king kobra. Menurutnya racun dari ular tersebut membuat imunnya menurun.

“Cuman kemarin imun drop pas kena gigitan ular itu. Langsung di situ, drastis banget karena kena diabetes, imun saya rontok juga karena bisa king kobra sampai tangan melepuh tapi alhamdulillah Allah jaga saya,” ucapnya.

Berkaitan dengan kondisi yang dialami Panji, dokter spesialis penyakit dalam dr Aru Ariadno, SpPD buka suara. Ia mengatakan bahwa secara umum racun ular tidak dapat menyebabkan diabetes dan penurunan berat badan.

“Dari jurnal yg saya baca tidak saya temukan hubungan racun ular dan penyebab diabetes. Diabetes sendiri sebagian besar dipengaruhi oleh faktor genetik. Jadi pada kasus Panji saya pikir berat badan turun bukan karena racun ular tetap karena diabetes melitus yang dialaminya,” ucap dr Aru ketika dihubungi.

Berkaitan dengan imun yang drop, dr Aru mengatakan bahwa kondisi tersebut juga tidak dapat mempengaruhi berat badan pasien diabetes. dr Aru mengatakan imunitas rendah menyebabkan lebih kepada infeksi bakteri, virus, dan jamur.

“Apakah racun ular memperburuk diabetes? Secara literatur tidak disebutkan. Racun ular hanya bertahan sebentar di dalam tubuh, setelah diberikan antinya, maka akan dibuang oleh tubuh,” ujarnya.

NEXT: Kenapa Diabetes Bisa Bikin Kurus?

Kabar Tak Enak Buat yang Pernah COVID, 700 Ribu Warga Inggris Alami Gejala Ini


Jakarta

Kabar nggak enak buat penyintas COVID-19, warga Inggris ramai-ramai melaporkan efek jangka panjang atau Lengthy COVID. Mereka diliputi rasa depresi dan kecemasan sehingga terlalu lelah atau sakit untuk bekerja.

Dikutip dari Reuters, Inggris menjadi salah satu negara yang terlambat pulih dari pandemi COVID-19, dibandingkan negara Eropa lain selain Jerman.

Kasus lengthy COVID meningkat dari 260 ribu kasus menjadi 754.000, naik 53 persen dibandingkan Januari, tahun lalu.

Ada 412.000 orang berusia 16 hingga 64 tahun yang tidak bisa bekerja karena mengalami efek jangka panjang dalam tiga bulan terakhir hingga Mei. Catatan ini naik 20 persen dibandingkan sebelum pandemi.

Sebaliknya, jumlah orang usia kerja yang tidak produktif secara ekonomi karena alasan umum lainnya, seperti pensiun dini atau tanggung jawab merawat, jauh lebih rendah daripada sebelum pandemi.

Angka yang dirilis pemerintah pada Rabu (26/7) memberikan rincian tentang apa yang ada di balik peningkatan kesehatan buruk.

Sebagian besar dari 2,5 juta orang usia produktif yang mengalami efek jangka panjang sedikitnya memiliki lima keluhan bahkan lebih. Tren ini meningkat sebanyak 42 persen dari 2019, demikian penjelasan Kantor Statistik Nasional Inggris.

Kategori kesehatan buruk yang paling umum ditemui adalah depresi, gangguan saraf, kecemasan.

“Jumlah orang yang sakit jangka panjang dengan kondisi ini naik 386.000 dari 2019 menjadi 1,351 juta,” kata ONS, peningkatan tercatat mencapai 40 persen.

Angka ini juga berimbas pada jumlah ‘ready checklist’ perawatan di Layanan Kesehatan Nasional Inggris, merangkak naik dari 4,6 juta pada Januari 2020, kini berada di 7,4 juta.

Simak Video “Jepang Turunkan Klasifikasi Covid-19 Jadi Setara Flu Biasa
[Gambas:Video 20detik]
(naf/vyp)

Kabar Baru! 3 Orang Pertama yang Kena COVID-19 Disebut Bekerja di Lab Wuhan

Jakarta

Hingga kini, asal-usul COVID-19 bak masih menjadi misteri. Namun baru-baru ini, sebuah penyelidikan mengungkapkan tiga ilmuwan di laboratorium Wuhan sempat jatuh sakit. Ketiga ilmuwan tersebut diduga adalah Ben Hu, Ping Yu, dan Yan Zhu, yang bekerja secara genetik mengubah virus Corona.

Hal itu diungkapkan oleh sejumlah pejabat pemerintah AS dalam wawancara bersama outlet berita independen Public and Racket, yang tengah melakukan penyelidikan panjang.

Disebutkan, ketiga pasien pertama tersebut adalah anggota laboratorium Wuhan yang diduga telah membocorkan virus pandemi dan terlibat dalam penelitian di Institut Virologi Wuhan (WIV) tentang virus corona mirip SARS. Penelitian tersebut mengerjakan pengubahan virus hewan di laboratorium untuk membuatnya lebih menular.

Ahli biologi molekuler di Broad Institute of MIT dan Harvard, Alina Chan, menyebut Ben Hu adalah penerus Shi Zhengli, yakni wanita yang dijluki sebagai ‘wanita kelelawar China’ lantaran memimpin penelitian di WIV. Pada 2019, Ben Hu dan Ping Yu ikut menulis makalah ilmiah bersama Dr Shit tentang ‘Struktur geografis virus Corona terkait SARS kelelawar’.

“Dia adalah murid bintangnya. Dia telah membuat virus mirip SARS chimeric dan mengujinya pada tikus manusia. Jika saya harus menebak siapa yang akan melakukan penelitian virus yang berisiko ini dan yang paling berisiko terinfeksi secara tidak sengaja, itu adalah dia,” ungkap Chan dikutip dari Day by day Mail UK, Kamis (15/6/2023).

Sebelumnya, Dr Shi sempat mengkhawatirkan kemungkinan virus Corona muncul dari eksperimen yang dilakukan di laboratorium Wuhan. Seorang rekannya, Profesor Wang Linfa, menyebut para ilmuwan menghabiskan waktu bermalam tanpa tidur demi menyisir sampe virus beku di WIV. Mereka sempat takut, virus yang ditemukan di laboratorium tersebut cocok dengan virus Corona yang merebak di dunia.