Jakarta –
Polusi udara yang tak ada habis-habisnya menimbulkan perdebatan dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) yang mempertanyakan standar batas konsentrasi PM 2.5 di RI yang tidak mengikuti pedoman WHO.
Ketua Tim Penanggulangan Kasus Respirasi Akibat Polusi, Prof Agus Dwi Susanto, menyatakan batas aman konsentrasi PM 2.5 yang ditetapkan WHO yakni 5 mikrogram/m3. Sedangkan, batas aman di Indonesia masih tidak mengikuti standar tersebut meski sudah beberapa kali diperbarui.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Luckmi Purwandari angkat bicara. Ia menegaskan WHO tidak melarang setiap negara untuk menentukan standar batas udaranya masing-masing.
“Itu namanya standar baku mutu udara ambien. WHO memiliki acuan atau panduan namanya WHO International Air High quality Guideline. Di situ setiap negara diperbolehkan menentukan sendiri angka baku mutunya,” ungkapnya saat ditemui detikcom di Jakarta Pusat, Senin (28/8/2023).
“Standarmya tadi berdasarkan kondisi suatu negara, baik dari segi geografis letaknya, musimnya di negara tersebut, kondisi ekonomi sosial, dan teknologi di negara tersebut,” sambungnya.
Terkait standar 5 mikrogram/m3 yang ditetapkan WHO, Luckmi mengatakan angka tersebut merupakan rata-rata tahunan.
“Itu angka rata-rata tahunan. Jadi satu tahun banyak datanya, datanya setiap satu jam atau setengah jam sekali, itu dirata-rata angkanya 5 di WHO, di Indonesia 15 mikrogram/m3, di AS juga 15, di Korea Selatan juga 15. WHO membolehkan pentahapan, dari tahap 1, 2, 3, 4. Nggak harus sama persis,” bebernya.
Sedangkan untuk indeks udara, hasil pengukuran dibandingkan dengan rata-rata selama 24 jam.
“Untuk menentukan indeks udara, yang dibilang udaranya ‘Baik’, ‘Sedang’, atau ‘Tidak Sehat’ itu indeks tanpa satuan, nggal pakai mikrogram/m3. Jadi rata-rata 24 jam, ya information setiap satu atau setengah jam, ini yang digunakan untuk menghitung indeks. Di AS juga begitu, di Indonesia namanya ISPU jugs begitu,” ucapnya.
“Nggak ada yang menyalahkan ‘Oh itu nggak bisa, harus pakai aturan saya’. Negara Swiss misalnya, IQAir itu kan pabrik di Swiss, negara Swiss sendiri tidak mempermasalahkan hal itu,” lanjutnya.
Meski begitu, Luckmi tidak menampik perbedaan baku mutu udara akan menimbulkan risiko bagi kesehatan.
“Karena itu perlu diterapkan adaptasi dan mitigasi. Adaptasi, oke karena udaranya masih seperti itu jadi kalau keluar harus pakai masker, masuk di dalam ruangan, jangan lama-lama di luar. Itu adaptasi yang dilakukan,” pungkasnya.
Simak Video “Depok Puncaki Peringkat Polusi Udara Terburuk di Indonesia“
[Gambas:Video 20detik]
(ath/naf)