Tag: Medsos

Tantangan ‘No Nut November’ Viral di Medsos, Dokter Urologi Ungkap Tak Ada Manfaatnya


Jakarta

‘No Nut November’ merupakan tren yang muncul di media sosial setiap bulan November. Tren ini merupakan tantangan (problem) bagi pria untuk tidak melakukan masturbasi selama satu bulan penuh.

Spesialis urologi Prof Dr dr Nur Rasyid SpU(Okay) menjelaskan tidak ada konsekuensi fisik atau kesehatan yang merugikan jika seseorang tidak melakukan masturbasi.

Hal ini karena tubuh manusia memiliki mekanisme alami jika ejakulasi dibutuhkan. Pasalnya, tubuh akan mengeluarkan sperma secara alami, yakni melalui mimpi basah yang bisa terjadi pada pria, tanpa harus masturbasi atau berhubungan intim.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Tubuh kita itu mempunyai sistem. Jadi seorang laki-laki yang sudah dewasa yang tidak berhubungan suami istri, baik belum punya istri atau lain sebagainya, kalau memang sudah perlu dikeluarkan dia akan bermimpi. Jadi nggak ada bahayanya nggak dikeluari,” jelas dr Nur Rasyid kepada detikcom, Minggu (5/11/2023).

Dalam dunia kesehatan, tidak ada anjuran khusus atau manfaat yang signifikan terkait dengan praktik masturbasi. Namun, masturbasi sendiri tidak berdampak buruk pada kesehatan fisik dan kualitas sperma seseorang.

“Secara medis, tidak ada anjuran, tidak ada manfaat. Prinsipnya gini, kalau kita bicara masturbasi, itu kan tinggal dilihat dari sudut mana. Kalau dari sudut kesehatan, secara kesehatan, secara fisik, itu tidak masalah. Apakah nanti orang yang onani kualitas spermanya setelah sekian tahun akan mejadi jelek, nggak,” jelasnya.

Meski begitu, Prof Rasyid menjelaskan bahwa masturbasi dapat mengganggu psikologis seseorang, terlebih jika menjadi kebiasaan yang dilakukan secara berlebihan. Hal ini dapat berdampak pada hubungan intim dengan pasangan.

“Tetapi secara psikologis bisa mengganggu. Apa maksudnya? Misalnya gini, orang kesenengan onani, lama-lama lebih menikmati onani dibandingkan berhubungan dengan istrinya,” terangnya.

Dampak psikologis dari aktivitas seksual ini juga dapat berujung pada disfungsi ereksi. Biasanya, masturbasi yang berlebihan akan menimbulkan kecemasan akan performa pada pria ketika akan melakukan hubungan intim dengan pasangannya.

Rasa cemas dan depresi dapat menghasilkan zat adrenalin yang mempengaruhi pembuluh darah. Alhasil, proses ereksi akan terganggu.

“Yang membuat disfungsi ereksi itu faktor psikologis, organnya sendiri nggak papa, tapi secara psikologis dia akan terbebani,” jelasnya.

“Padahal kalau orang itu dalam keadaan khawatir, depressed, akan dikeluarkan zat namanya adrenalin. Jadi kalau proses ereksi itu pembuluh darah dilebarkan, kalau stres dan keluar adrenalin, itu pembuluh darah menyempit. Nah gimana mau ereksi kalau pembuluh darah harusnya melebar ini malah menyempit,” tandasnya.

Simak Video “Dokter Bicara Kesehatan Mata untuk Pekerja: Terapkan Sistem 20-20
[Gambas:Video 20detik]
(suc/suc)

Sengaja Nunggu Ketiduran Sambil Scroll Medsos? Hati-hati BB Naik

Jakarta

Banyak orang tidak bisa lepas dari handphone. Misalnya karena keperluan pekerjaan, atau karena sekadar ‘berselancar’ di linimasa media sosial. Bahkan menjelang tidur malam hari pun, mereka masih bermain handphone.

Tapi, ternyata cahaya yang terpancar dari ponsel bisa mengacaukan jam inner tubuh. Akibatnya bisa mempengaruhi suasana hati, waktu tidur, kewaspadaan, hingga nafsu makan.

Tak hanya mengacaukan jam inner tubuh, sebuah penelitian juga mengungkapkan bahwa cahaya dari ponsel itu bisa membuat berat badan bertambah. Memang seperti apa hubungannya?


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Siklus tidur-bangun, kewaspadaan, suasana hati, tingkat aktivitas, suhu inti tubuh, dan nafsu makan kita berfluktuasi sepanjang hari, di bawah kendali apa yang disebut ‘jam utama’ di otak,” jelas Becky Conway-Campbell, seorang peneliti di Bristol Medical Faculty di Universitas Bristol di Inggris yang dikutip dari Newsweek.

“Jam lain di seluruh tubuh disebut osilator perifer, yang disinkronisasikan oleh sinyal saraf dan hormonal. Salah satu sinyal sinkronisasi hormonal yang lebih kuat adalah melalui lonjakan besar kortisol atau ‘hormon stres’ yang dilepaskan dari kelenjar adrenal pada pagi hari setiap hari,” lanjut dia.

Conway-Campbell mengatakan lonjakan kortisol harian itu bisa dimodifikasi oleh paparan cahaya buatan atau perubahan paparan cahaya harian, yang biasa terjadi saat bepergian ke zona waktu berbeda.

Kondisi itulah yang mengakibatkan apa yang disebut sebagai ketidakselarasan sirkadian.

“Ketidakselarasan sirkadian disebabkan oleh jam inner tubuh kita yang tidak sinkron dengan isyarat eksternal terang-gelap,” kata Conway-Campbell.

“Sebagai masyarakat, kita sekarang diganggu oleh gangguan sirkadian, polusi cahaya international yang dapat dideteksi oleh satelit, dan penggunaan perangkat pemancar cahaya biru pada larut malam,” sambungnya.

Ketidakselarasan sirkadian ini juga mengganggu siklus hormonal yang mengatur tubuh kita. Sehingga bisa menyebabkan berbagai efek samping yang merugikan.

Menurut Conway-Campbell, efek samping atau gejala yang muncul seperti:

  • Kabut otak
  • Lesu
  • Menggigil di siang hari
  • Kepanasan di tengah malam
  • Kurang nafsu makan di pagi hari
  • Konsumsi makanan berlebihan di kemudian hari

NEXT: Hasil Penelitian

Sederet Hal yang Bikin Anak ‘Doyan’ Principal Roleplay di Medsos Menurut Psikiater

Jakarta

Viral video bocah perempuan dimarahi sang ayah gegara ketahuan bermain roleplay di media sosial. Sejumlah warganet menyoroti, tak sepantasnya anak usia dini bermain permainan tersebut, apalagi berlagak layaknya orang dewasa dan berinteraksi dengan orang tak dikenal di dunia maya.

Namun ada juga yang justru bersimpati, tak seharusnya anak tersebut direkam, dipermalukan, dan disebarluaskan wajahnya ke media sosial.

Menurut psikiater dr Lahargo Kembaren, SpKJ, salah satu faktor penyebab anak bermain roleplay di media sosial adalah tidak terpenuhinya keinginan anak tersebut di dunia nyata. Misalnya berkaitan dengan kehangatan, komunikasi, atau sesimpel penghargaan dan apresiasi dari orang-orang terdekat.

Dalam kata lain, anak tersebut bisa mendalami peran tertentu di dunia maya, dan mendapatkan apa yang dia inginkan walaupun hanya imajinasi belaka.

“Ketika dia roleplay, ada kenyamanan, ‘ternyata senang ya aku jadi peran ini’. Itu di otaknya akan keluar hormon dopamine yang bikin kenyamanan bagi dia,” jelas dr Lahargo saat dihubungi detikcom, Minggu (18/6/2023).

“Dia akan merasa tenang dan nyaman sesaat, tapi ketika sudah menurun dia tidak punya cara lain lagi untuk mendapatkan ketenangan itu selain melakukan hal yang sama, sehingga terjadilah pola perilaku yang berulang-ulang,” sambungnya.

Alih-alih membenarkan tindakan orang tua memarahi dan membentak anak, dr Lahargo justru meluruskan, pendampingan orang tua amat diperlukan untuk anak-anak yang bermain roleplay di dunia maya. Dengan begitu, anak tidak mencari kenyamanan dengan cara yang tidak pantas, seperti berinteraksi dengan orang asing di dunia maya.

Terlebih mengingat, permainan tersebut bisa menjadi wadah terjadinya kekerasan verbal dan pelecehan seksual. Dampak lanjutnya, anak bisa mengalami trauma dan gangguan kepribadian.

“Sebagai orang tua kita perlu memahami kebutuhan si anak, bukan hanya kebutuhan fisiknya tapi juga psychological emosionalnya. Bagaimana bonding, kelekatan, kedekatan dengan orang tua, mendapatkan penghargaan, mendapatkan parenting model yang baik dengan orang tuanya,” pungkas dr Lahargo.

Simak Video “Viral Anak Principal Roleplay di TikTok, Ini Bahayanya
[Gambas:Video 20detik]
(vyp/vyp)

Psikiater Ungkap Pemicu Marak Anak ‘Doyan’ Foremost Roleplay di Medsos

Jakarta

Tren roleplay di media sosial mendapat sorotan para netizen di dunia maya. Hal ini berawal dari sebuah cuplikan video di TikTok yang memperlihatkan seorang ayah yang memarahi putrinya karena melakukan roleplay di platform tersebut.

Usut punya usut, ternyata roleplay yang dilakukan bocah tersebut sudah tidak pantas untuk usianya dan melibatkan orang-orang yang tidak dikenal. Bahkan dalam roleplay itu si bocah juga memiliki ‘anak’ yang perannya dimainkan consumer TikTok lain.

Psikiater dr Lahargo Kembaren, SpKj, mengungkapkan salah satu alasan mengapa anak mau melakukan roleplay bersama orang yang tidak dikenal di medsos adalah demi mendapatkan perlakuan yang tidak ia terima di kehidupan nyata.

“Dia sampai mengambil opsi memainkan roleplay di aplikasi (medsos) karena dia sebenarnya tidak mendapatkan apa yang dia butuhkan. Misalnya, anak ini butuh komunikasi, kehangatan, apresiasi, butuh reward atau penghargaan dalam hidupnya. Akhirnya dia mencarinya di tempat lain,” terangnya saat dihubungi detikcom, Minggu (18/6/2023).

dr Lahargo menjelaskan hal tersebut dapat memunculkan adiksi yang membuat anak tidak bisa berhenti melakukan roleplay.

“Ketika dia roleplay, ada kenyamanan, ‘ternyata senang ya aku jadi peran ini’. Itu di otaknya akan keluar hormon dopamine yang bikin kenyamanan bagi dia. Dia akan merasa tenang dan nyaman sesaat, tapi ketika sudah menurun dia tidak punya cara lain lagi untuk mendapatkan ketenangan itu selain melakukan hal yang sama, sehingga terjadilah pola perilaku yang berulang-ulang,” urainya.

Ia pun menegaskan peran orang tua sangat dibutuhkan untuk memberikan pendampingan pada anak agar dia tidak mencari kenyaman dengan cara yang tidak pantas.

“Sebagai orang tua kita perlu memahami kebutuhan si anak, bukan hanya kebutuhan fisiknya tapi juga psychological emosionalnya. Bagaimana bonding, kelekatan, kedekatan dengan orang tua, mendapatkan penghargaan, mendapatkan parenting model yang baik dengan orang tuanya,” pungkasnya.

Simak Video “Menakuti Bocah Pakai Suara ‘Cekikikan’ Hantu Bisa Timbulkan Trauma
[Gambas:Video 20detik]
(naf/hnu)