Tag: Nakes

BPJS Kesehatan ‘Sentil’ Nakes yang Masih Anaktirikan Pasien JKN


Jakarta

Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof Ali Ghufron Mukti mengklaim diskriminasi kepesertaan yang kerap dilaporkan sudah jauh berkurang. Penilaian dilihat dari laporan kepuasan peserta yang saat ini mencapai nyaris 90 persen.

Salah satu aspek yang dinilai dalam catatan kepuasan disebutnya nihil diskriminasi. Dalam kurun nyaris 10 tahun Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berdiri, Prof Ghufron menyebut ada banyak perubahan yang terjadi di sisi pelayanan.

“Sekarang tidak ada lagi membeda-bedakan pasien, misalnya oh peserta BPJS? Lalu dianaktirikan. Kalau dirawat, tahu-tahu sudah habis, maksimum 3 hari. Dari serba harus antre, kini sudah bisa on-line,” terangnya dalam diskusi Workshop Media BPJS Kesehatan, Rabu (1/11/2023).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski begitu, Prof Ghufron tidak menampik, beberapa kasus diskriminasi yang masih saja dilakukan sejumlah oknum dokter. Padahal, sudah dibuat penerapan janji pelayanan dengan salah satu poin yakni melayani peserta dengan ramah tanpa diskriminasi.

“Sekarang laporannya sudah nggak terlalu banyak,” sambungnya.

“Memang belum semua dokter, ada beberapa perawat malah ada yang bikin konten di medsos, kalau dipanggil ini, pasien BPJS? ngantuk, kalau ada lagi yang dipanggil pasien BPJS dengan yang tidak, nadanya beda,” katanya.

Kepuasan layanan meningkat dari 81 ke 89, persen. “Hampir 90 persen, itu antara lain juga kan diskriminasi,” pungkas dia.

Simak Video “Pakar IDI Tegur Nakes yang Viral Bedakan Pelayanan Pasien Umum dan BPJS
[Gambas:Video 20detik]
(naf/kna)

Siasat Kemenkes RI Atasi Sengkarut Antrean Mengular hingga Minim Nakes di RS

Jakarta

Antrean panjang di sejumlah rumah sakit menjadi potret nyata akses masyarakat ke fasilitas kesehatan Indonesia belum merdeka.

Banyak pasien tidak tertolong imbas keterbatasan faskes. Jangankan perkara canggih, alatnya saja belum memadai. Ditambah lagi, persoalan kekurangan tenaga dokter dan nakes.

Salah satu yang krusial, terkait kasus anak pengidap jantung bawaan (PJB). Demi menyiapkan bonus demografi 2045 mendatang, kesehatan mereka menjadi kunci utama di balik produktivitas negara yang kemudian berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah punya ‘PR’ besar. Bagaimana tidak, Kementerian Kesehatan RI mencatat setiap tahunnya ada 12 hingga 15 ribu anak lahir dengan penyakit jantung bawaan.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari whole tersebut, baru 6 ribu anak yang bisa mendapatkan tindakan operasi. Sisanya? Bak mengandalkan keajaiban lewat doa. Selain nihil alat mumpuni, jumlah dokter bedah hanya berkisar lebih dari 160 dokter di penjuru Tanah Air. Jika dirinci lebih lanjut, hanya 17 di antaranya yang terjun sebagai spesialis bedah jantung anak.

“Kita sudah 77 tahun merdeka. Masa sih masih 9.000 bayi harus meninggal kelainan jantung yang bisa disembuhkan, tidak bisa tertangani, karena tidak ada alat dan tidak ada dokter spesialis,” sentil Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dalam beberapa kali kesempatan.

Beruntung, jika pasien cepat mendapatkan rujukan langsung ke RS rujukan nasional. Bagaimana dengan pasien di daerah dengan segala keterbatasan? Terlambat dirujuk, taruhannya adalah nyawa.

Kisah Pilu Ibu Membawa Anak ke Ibu Kota

Seperti yang dikhawatirkan Rika, wanita 23 tahun asal Sukabumi. Kabar tak mengenakkan datang saat anaknya yang baru memasuki usia 9 bulan, mulai mengeluhkan gejala batuk, pilek, bahkan sesak napas yang tak kunjung mereda.

Diminta untuk rutin menjalani pengobatan, Rika bolak-balik dokter umum selama dua bulan. Namun, kondisinya tak banyak berubah. Merasa ada yang tak beres, ia memutuskan untuk langsung membawa putranya dirawat di rumah sakit.

“Putra saya masih sering batuk, pilek dan sesak. Setelah itu saya inisiatif sendiri, dengan membawa ke rumah sakit, di sana dicek darah lagi, hasilnya anak saya mengidap penyakit lain, selain dari radang paru-paru ternyata punya penyakit lain yaitu anemia,” cerita Rika, saat dihubungi Minggu (29/10/2023).

Dokter kala itu menyebut putranya mengalami komplikasi, sampai menjalani perawatan intensif kurang lebih satu pekan, kemudian diperbolehkan pulang.

“Namun selama seminggu di rumah, anak saya kembali mengalami batuk, sesak, dan panas. Dirawat kembali jadinya, ketika dicek darah lagi, HB anak saya rendah, harus melakukan transfusi darah, selama dirawat hampir selama 3 minggu, kondisi anak saya tak kunjung membaik,” sambung dia.

Meski akhirnya demam sempat mereda sehingga proses transfusi darah bisa kembali dilanjutkan, Rika dibuat terkejut saat suhu anaknya mendadak tinggi nyaris 40 derajat celcius. Anak Rika kala itu juga mengalami step atau kejang-kejang. Ia kemudian memutuskan untuk membawa anaknya dirujuk ke RS lain di Sukabumi.

“Inisiatif sendiri lagi untuk paksa pulang, karena keadaan anak saya sudah mengkhawatirkan. Pada hari itu saya langsung pulang ke rumah dan lanjut membawa anak saya, ke rumah sakit di kota, di sana anak saya langsung mendapat tindakan dan dirawat inap selama seminggu. Alhamdullilah selama itu anak saya membaik dan berat badannya naik sampai 2 kilogram,” kata dia.

Analysis lain yang kemudian mengejutkan Rika, rupanya selama ini putranya mengidap Atrial Septal Defect atau kebocoran serambi jantung akibat penyakit jantung bawaan. Putra Rika harus segera mendapatkan penanganan sehingga dirujuk langsung ke RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.

Nihil RS yang menyanggupi penanganan kasus anak jantung bawaan lantaran keterbatasan alat.

Imbasnya, beban Rika bertambah, biaya berobat hingga perjalanan otomatis menjadi berkali lipat. Sebagai single mum or dad di tengah keterbatasan ekonomi, Rika terpaksa membawa anaknya ke Ibu Kota dengan transportasi umum, bahkan sempat memakai truk untuk berangkat ke Ciawi dari Sukabumi, kemudian melanjutkan perjalanan dari Bogor ke Jakarta.

“Waktu itu untuk ke Jakarta saya sampai naik truk ditemani Ibu saya, untuk membawa putra saya, alhamdulillah walaupun hanya sampai Ciawi, hingga dikasih uang oleh pengemudi truknya, bukannya saya yang ngasih karena numpang,” ceritanya.

Kemenkes RIAntrean Layanan di RS Foto: Infografis detikHealth

Rika, hanya menjadi satu dari sekian banyak gambaran sulitnya mengakses pelayanan kesehatan. Information di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita mencatat lebih dari 300 anak setiap tahunnya lahir dengan penyakit jantung bawaan (PJB). Banyak dari mereka yang terpaksa menunggu jadwal operasi selama kurang lebih enam bulan.

Bukan tanpa sebab, keterisian mattress occupancy fee (BOR) ruang NICU seringnya melampaui 90 persen. Pasalnya, banyak anak membutuhkan perawatan lebih lama lantaran bobot tubuh berada di bawah 3 kg. Sementara untuk melakukan operasi, berat badan anak harus melampaui angka tersebut dan ini menjadi persyaratan utama.

”Ruangan NICU BOR-nya lebih dari 90 persen, apabila ini keluar lebih cepat, maka NICU ini bisa dipakai oleh bayi-bayi lain sehingga bisa lebih baik lagi flownya, antriannya,” beber Direktur Utama RSAB Harapan Kita, dr Ockti Palupi Rahayuningtyas, MPH, MH Kes, beberapa waktu lalu.

dr Ockti menyebut pihaknya kemudian membuka layanan baru kateterisasi radiologi intervensi bayi dan anak yang memungkinkan bayi ditindak langsung melakukan operasi dengan harapan memangkas waktu rawat inap lebih cepat, sehingga pasien tidak harus menunggu berbulan-bulan.

NEXT: Siasat Kemenkes RI

Menkes Rilis Edaran STR Nakes Seumur Hidup-Izin Praktik Tanpa OP! Cek di Sini

Jakarta

Sejak Undang undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan berlaku, beberapa kebijakan pengurusan izin praktik tenaga kesehatan berubah. Salah satunya pemberlakuan surat tanda registrasi nakes kini berlaku seumur hidup hingga nihilnya rekomendasi organisasi profesi dalam syarat perolehan surat izin praktik (SIP).

Kebijakan tersebut diyakini bisa mengatasi minimnya jumlah dokter dan dokter spesialis dengan rasio yang masih jauh dari batas standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) satu per seribu penduduk. Menurut Kemenkes RI, Indonesia masih kekurangan 160 ribu tenaga dokter.

Dalam turunan regulasi terkait STR, berikut beberapa poin yang perlu diperhatikan.

STR yang Otomatis Berlaku Seumur Hidup

Nakes yang sudah mengantongi STR dan statusnya belum ‘kedaluwarsa’ sebelum UU Kesehatan baru terbit, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa berlaku STR, STR Sementara, juga STR Bersyarat.

Nakes bisa melakukan pembaharuan STR menjadi berlaku seumur hidup dengan rincian tahapan:

  • Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan mengajukan permohonan kepada Konsil Kedokteran Indonesia bagi
  • Tenaga Medis dan kepada Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia bagi Tenaga Kesehatan dengan melampirkan STR lama
  • Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud huruf Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia menerbitkan STR yang berlaku seumur hidup.

Bagaimana Jika Masa Berlaku Sudah Habis?

Nakes dengan STR kedaluwarsa kurang dari tiga bulan sebelum UU Kesehatan baru terbit, juga bisa melakukan permohonan pembaharuan STR dengan langkah serupa. Catatan berbeda dikhususkan bagi mereka yang memiliki STR kedaluwarsa lebih dari tiga bulan, seperti berikut:

a) Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan telah memenuhi kecukupan Satuan Kredit Profesi (SKP) yang diperoleh selama kurun waktu 5 (lima) tahun sebelum Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2023 diundangkan, dapat mengajukan permohonan pembaharuan STR seumur hidup
dengan melampirkan ijazah dan/atau sertifikat profesi dan surat bukti pemenuhan kecukupan SKP;

b) Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang tidak memenuhi kecukupan SKP sesuai ketentuan huruf a), harus melakukan uji kompetensi yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan kolegium dan/atau pihak lain yang terkait;

c) Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud huruf b) dapat mengajukan permohonan STR seumur hidup dengan melampirkan ijazah dan/atau sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi setelah lulus uji kompetensi; dan

d) Konsil Kedokteran Indonesia atau Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia menerbitkan STR yang berlaku seumur hidup bagi Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang memenuhi persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud huruf a)
dan huruf c).

Proses terbitnya STR dilakukan melalui aplikasi registrasi STR on-line yang terintegrasi dengan SATUSEHAT. Paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah persyaratan diunggah secara lengkap.

NEXT: SIP Tanpa Rekomendasi Organisasi Profesi

Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Komering Ulu | Hindarkan Penularan Covid-19 Bagi Nakes di Tempat Pelayanan Kesehatan

Hindarkan Penularan Covid-19 Bagi Nakes di Tempat Pelayanan Kesehatan

Rusmini WiyatiJul 10, 2020

Gambar oleh pixabay

Berbagai upaya telah dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien agar tidak tertular virus covid-19 dari pasien yang dirawatnya, antara lain penggunaan APD sesuai standar, baik jenis APD yang digunakan, cara memakai maupun cara melepasnya.

Beberapa rumah sakit telah “kecolongan” karena pasien/keluarga tidak jujur mengatakan riwayat penyakit pasien sebelum dirawat sehingga akhirnya petugas kesehatan yang ada di rumah sakit tersebut harus dikarantina, bahkan ada yang tertular hingga jatuh sakit dan meninggal.

Tidak selamanya sumber penularan covid-19 berasal dari pasien, bisa juga penularan berasal dari sesama nakes yang tanpa disadari telah terpapar penyakit ini. Oleh karena itu ada hal-hal yang tidak kalah penting untuk dihindari oleh petugas kesehatan agar tidak tertular penyakit, antara lain :

  1. Merasa sesama nakes aman dari penularan padahal bisa saja teman nakes tersebut adalah OTG (Orang Tanpa Gejala yang telah kontak dengan penderita covid-19).
  2. Bergerombol saling berdekatan mengabaikan jarak aman ketika tidak melayani pasien.
  3. Makan bersama sambil mengobrol tanpa menyadari bahwa mereka dalam kondisi tidak menggunakan masker sehingga bisa terjadi penularan virus secara droplet maupun airborne.
  4. Menggunakan alat makan/minum secara bersamaan.
  5. Tidak menggunakan masker dan menjaga jarak aman ketika bersama-sama di dalam kendaraan.
  6. Membuang bekas alat medis tidak sesuai dengan standar.

Infeksi virus covid-19 bisa mengenai siapa saja, karena itu harus tetap waspada terhadap orang-orang yang ada di sekitar kita. Dengan semakin meningkatnya jumlah Orang Tanpa Gejala berarti semakin banyak juga sumber penularan yang berada di sekitar kita.