Tag: Sekolah

Remaja Darurat Kesehatan Psychological, Pakar Sarankan Ada Skrining di Sekolah


Jakarta

Kesehatan psychological merupakan sebuah permasalahan yang cukup mengkhawatirkan. Tak hanya pada orang dewasa, anak-anak usia remaja juga rentan mengalami masalah kesehatan psychological.

Tim peneliti Studi World pada Remaja Awal atau World Early Adolescent Examine (GEAS) Prof dr Siswanto Agus Wilopo, SU, MSc, mengatakan pendidikan kesehatan psychological pada remaja masih sangat rendah. Hal ini membuat kasus kesehatan psychological pada remaja cukup tinggi.

“Bagaimana cara mengatasi kasus kesehatan psychological, itu harus diskrining, seperti mana anak yang berisiko tinggi,” beber Prof Siswanto saat ditemui di acara Rutgers Indonesia di Bogor, Senin (13/11/2023).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Karena hampir 40 persen itu anak-anak remaja dengan gejala-gejala depresi. Jadi depresi sama anxiousness yang paling banyak,” lanjutnya.

Untuk mengatasi permasalahan ini, Prof Siswanto mengatakan perlu ada kolaborasi. Misalnya, untuk skrining awal bisa dilakukan oleh guru bimbingan konseling (BK).

Pada tahap ini, guru BK bisa melihat anak-anak yang memang berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan psychological. Sementara untuk pencegahannya, itu harus dilakukan oleh ahlinya yaitu psikolog.

“Untuk pencegahannya itu harus ke psikolog. Oleh karena itu, perlu dirujuk ke puskesmas yang memang memiliki psikolog. Karena guru BK saja nggak bisa untuk mencegah anak-anak itu dari masalah kesehatan psychological. Tapi, masalahnya puskesmas itu sudah punya psikolog atau belum,” jelas Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Sebagai contoh, Prof Siswanto mengungkapkan cara itu yang sudah dilakukan di Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta. Ia mengatakan wilayah tersebut sudah memulai skrining kesehatan psychological di lingkungan sekolah.

Jika ditemukan anak yang dianggap berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan psychological, akan diarahkan untuk melakukan konsultasi ke puskesmas oleh guru BK. Di Yogyakarta sendiri, lanjut Prof Siswanto, semua puskesmas sudah mempunyai psikolog.

“DIY itu punya psikolog, nah mannequin itu yang kita dorong. Di puskesmas harus ada psikolog, karena guru BK saja nggak bisa untuk mencegah (masalah kesehatan psychological),” pungkasnya.

Simak Video “Dampak Positif Merawat Kebersihan Diri pada Kesehatan Psychological Anak
[Gambas:Video 20detik]
(sao/up)

Bocah Perempuan Patah Tulang Ekor gegara Prank Tarik Kursi di Sekolah


Jakarta

Seorang anak di Malaysia yang mengidap Cerebral Palsy mengalami cedera tulang belakang yang serius. Hal itu terjadi setelah anak perempuan bernama Iqa mendapatkan lelucon buruk di sekolah.

Ibu dari Iqa menceritakan kondisi putrinya melalui akun TikTok miliknya @azera5276. Ia mengatakan Iqa terjatuh setelah temannya menarik kursinya.

“Semua pihak harus ingat bahayanya prank seperti ini. Sekarang kita dihadapkan pada hal tersebut, mohon doanya agar Iqa cepat sembuh,” kata ibunya yang dikutip dari The Straits Instances, Sabtu (28/10/2023).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam video yang diunggah, terlihat staf medis memindahkan gadis itu dari bangsal ke ruangan lain untuk menjalani magnetic resonance imaging (MRI). Ibu Iqa membagikan laporan MRI dan mengatakan putrinya menangis karena kesakitan.

Sang ibu mengungkapkan Iqa mengalami patah tulang ekor, cedera cakram tulang belakang, dan memar di tulangnya. Ia juga mengalami gangguan motorik, seperti gerak refleks yang berlebihan, postur tidak regular, mata juling, dan sebagainya.

Akibat cedera tersebut, Iqa membutuhkan bantal untuk duduk. Tetapi, tidak disebutkan jelas kapan peristiwa itu terjadi.

“Tapi, dia tidak bisa duduk terlalu lama dan harus istirahat di tempat tidur hampir sepanjang waktu,” tambah sang ibu.

Namun, saat ini Iqa sudah keluar dari rumah sakit. Dalam video yang diunggah ibunya, gadis kecil itu sudah kembali ceria dan terlihat lebih baik duduk di kursi roda.

Melihat kasus Iqa, banyak warganet yang sangat marah. Banyak yang bercerita pengalaman mereka yang mengalami kejadian serupa.

Bahkan, ada yang masih menderita akibat prank tersebut dan rasa sakitnya masih sangat terasa.

“Saya sudah menderita selama 32 tahun karena kasus seperti ini. Saya mempunyai slip disc L1-L5 dan baru saja disuntik steroid pada tanggal 5 Oktober tetapi rasa sakitnya masih ada. Aku bersumpah demi Allah aku tidak akan memaafkan mereka,” kata seorang komentator ‘Kak Lengthy Aini’.

Tak hanya itu, banyak warganet juga yang mendesak ibu Iqa untuk menuntut keluarga pelaku membayar semua biaya pengobatan sampai gadis tersebut sembuh complete.

Simak Video “Jangan Prank Tarik Kursi!
[Gambas:Video 20detik]
(sao/up)

Horor Krisis Populasi Jepang, Angka Kesuburan Ngedrop-450 Sekolah Tutup Tiap Tahun


Jakarta

Krisis populasi di Jepang makin ngeri, Kementerian Dalam Negeri Jepang menyebut jumlah populasi di negeri Sakura itu menyusut lebih dari 800 ribu untuk pertama kalinya.

Penurunan dilaporkan hampir di semua prefektur Jepang. Catatan ini menjadi penanda Jepang 14 kali berturut-turut melaporkan rendahnya populasi sejak 2009 hingga 2022. Secara complete populasi saat ini berada di angka 125,4 juta.

Hal yang juga memperparah tren tersebut adalah rekor kematian tertinggi yakni lebih dari 1,56 juta. Sangat kontras dengan jumlah kelahiran rendah secara historis di 771 ribu, pertama kalinya dilaporkan berada di bawah 800 ribu sejak pemerintah memulai pencatatan.

Angka Kelahiran Ngedrop

Seperti yang bisa dibayangkan, tren ini menjadi tantangan negara Jepang seiring dengan banyaknya populasi menua. Meskipun angka kelahiran mereka termasuk yang tertinggi di dunia, tetap saja, itu juga dibebani dengan kenyataan Jepang menjadi salah satu tingkat kesuburan terendah.

Banyak negara Asia timur lain yang juga mengalaminya, termasuk Korea Selatan dan China.

Pada tingkat kesuburan 1,3 kelahiran per wanita, menurut information Financial institution Dunia, Jepang secara signifikan kurang dari sekitar dua kelahiran per wanita yang diperlukan untuk mempertahankan populasi stabil. Sederhananya, saat ini tidak banyak wanita muda yang memilih hamil dan memiliki anak.

Faktornya bermacam-macam, termasuk ekonomi, tetapi faktanya adalah seiring bertambahnya populasi dari tahun ke tahun, tenaga kerja juga berkurang. Titik yang mengkhawatirkan tahun lalu menyebabkan Perdana Menteri Fumio Kishida menekankan pada bulan Januari bahwa Jepang berdiri di ambang batas apakah populasinya dapat terus produktif, menurut The Guardian.

Sekolah Tutup

Pemerintah Jepang telah mencoba mengimbangi penurunan domestik dengan sedikit melonggarkan kebijakan imigrasi pintu tertutupnya. Meskipun populasi penduduk asing mencapai rekor tertinggi 3 juta berkat peningkatan sepuluh persen, itu masih belum cukup untuk menggerakkan jumlah usia produktif di Jepang secara keseluruhan.

Sekolah-sekolah, terutama di daerah pedesaan, ditutup pada tingkat yang mengkhawatirkan sekitar 450 sekolah tutup setiap tahun. Lebih dari 1,2 juta usaha kecil terjebak dengan pemilik berusia 30 tahun tanpa penerus, dan bahkan Yakuza terluka karena darah muda.

Mengindahkan tulisan di dinding, pemerintah Jepang meluncurkan Badan Anak dan Keluarga yang baru pada bulan April untuk mengawasi tingkat kelahiran dan krisis pengasuhan anak, tetapi membalikkan tren dalam beberapa dekade tentu bukanlah hal mudah.

Simak Video “ Warga Hong Kong Lebih Pilih Punya Kucing Dibanding Bayi
[Gambas:Video 20detik]
(naf/naf)

Jumlah Bayi Lahir Makin Anjlok, Ribuan Sekolah TK di China Terpaksa Tutup


Jakarta

Jumlah taman kanak-kanak di China mengalami penurunan untuk pertama kalinya dalam 15 tahun terakhir pada 2022. Hal ini menunjukkan tantangan demografis karena kelahiran yang menurun di China semakin parah.

Kementerian Pendidikan China menyebutkan bahwa jumlah taman kanak-kanak turun sebanyak 5.610 menjadi 289.200 tahun lalu. Selain itu, laporan tersebut juga menunjukkan bahwa jumlah siswa yang terdaftar di taman kanak-kanak dan prasekolah pun mengalami penurunan sebanyak 3,7 persen menjadi 46,3 juta pada 2022.

Tidak hanya taman kanak-kanak, jumlah sekolah dasar di China juga mengalami penurunan sebanyak 3,35 persen menjadi 149.100 pada akhir tahun lalu. Pendaftar baru mengalami penurunan 4,55 persen menjadi 17 juta.

Penurunan jumlah pendaftar di sekolah menunjukkan masalah demografis yang besar di China. Jumlah bayi yang lahir di China pada tahun lalu hanya tercatat 9,56 juta bayi. Ini memperlihatkan jumlah terendah dalam sejarah trendy untuk pertama kali angkanya anjlok di bawah 10 juta kelahiran.

Jumlah populasi keseluruhan di China sudah mengalami penurunan sebanyak 850 ribu orang menjadi 1,4 miliar penduduk. Hal ini terjadi karena jumlah angka kematian yang melampaui angka kelahiran untuk pertama kalinya dalam enam dekade.

“Lebih banyak prasekolah dan sekolah dasar akan ditutup di masa yang mendatang. Persaingan sengit akan memisahkan yang terbaik dari yang lain,” ucap wakil presiden Asosiasi Penduduk China Yuan Xin dikutip dari SCMP, Minggu (9/8/2023).

Karena penurunan jumlah sekolah dan prasekolah yang tajam, timbul kekhawatiran lain bahwa sebagian guru TK akan kehilangan pekerjaan.

Yuan mengatakan kejadian tersebut tidak dapat dihindarkan. Hal tersebut juga bisa menimbulkan masalah sosial yang lebih mendalam dan sulit dipecahkan.

“Fasilitas fisik, seperti kampus dan ruang kelas, dapat dialihfungsikan menjadi fasilitas perawatan lansia. Namun, guru taman kanak-kanak, guru sekolah dasar, atau guru sekolah menengah tidak dapat dengan mudah beralih menjadi pengasuh orang tua,” pungkasnya.

Simak Video “Populasi Negaranya Menyusut, Warga China Enggan Punya Banyak Anak
[Gambas:Video 20detik]
(avk/vyp)

Pilu! Cita-cita Jadi Dokter, Siswa Jaktim BB 200 Kg Terancam Putus Sekolah


Jakarta

Lagi-lagi laporan kasus diabetes ekstrem. Ahmad Juwanto (19) yang berat badannya mencapai 200 kg hanya bisa terbaring dan duduk di dalam rumahnya, di kawasan Jakarta Timur.

Ahmad terpaksa tidak bisa menjalani aktivitas seperti teman-teman sebayanya, akibat berat badan berlebih. Diketahui, sejak usia 10 tahun, dirinya sudah mengalami obesitas.

“Waktu itu masih bisa beraktivitas sampai umur 17 tahun. Naik drastis (berat badan) umur 18 tahun,” cerita Juwanto ketika ditemui, dikutip dari Antara, Rabu (5/7/2023).

Di tengah keterbatasan ekonomi dan obesitas yang diidap, Juwanto terpaksa putus sekolah. Hingga kini, Juwanto belum melanjutkan pendidikan ke jenjang kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Juwanto sebenarnya ingin terbebas dari obesitas dan mengejar mimpinya menjadi seorang dokter.

“Inginnya badan regular seperti teman-teman. Cita-cita saya ingin jadi dokter agar bisa bantu orang tua sama orang lain,” kata Juwanto.

Juwanto dan keluarga sempat mengupayakan pengobatan dengan mendatangi tiga rumah sakit wilayah Jaktim. Namun, hasilnya nihil, keluarga juga terbebani dengan biaya akomodasi.

Nenek Juwanto, Lina (54) mengaku tidak mengetahui pasti penyebab obesitas yang diidap Juwanto, sehingga mereka tidak dapat berbuat banyak untuk memulihkan kondisinya.

Sejak masih Sekolah Dasar (SD) cucunya disebut sudah mengalami berat badan berlebih.

“Memang badannya gede dari kecil sih, dari SD juga sudah besar badannya. Sudah kelihatan gede,” tutur Lina.

Jumat lalu, Juwanto sempat akan dievakuasi tetapi keluarga menolak lantaran terkendala di biaya. Pasalnya, Juwanto sudah pernah berobat selama ennam bulan dan mendapatkan bantuan, tetapi nihil perubahan.

“Cuman dibilang pola makan diatur,” tutur nenek Juwanto.

“Sebelum-sebelumnya orang dari puskesmas dan kelurahan datang, tapi kontrol kondisi saja. Kita mau bawa ke rumah sakit juga bagaimana, nggak ada biaya,” tuturnya.

Simak Video “Pemicu Berat Badan Fajri Pasien Obesitas Membengkak hingga 300 Kg
[Gambas:Video 20detik]
(naf/naf)

Guru-guru di Swiss Ngeluh Banyak Murid 11 Tahun Masih Pakai Popok ke Sekolah

Jakarta

Masih ada banyak murid di Swiss yang pergi ke sekolah mengenakan popok. Hal ini lantas banyak dikeluhkan oleh guru-guru setempat.

“Anak-anak pergi ke sekolah semenjak usia empat tahun sekarang. Anda mungkin akan menemukan beberapa murid masih menggunakan popok,” ucap pemimpin dari Federasi Guru Swiss Dagmar Rosler dikutip dari NY Publish, Selasa (20/6/2023).

“Ketika ada anak berusia 11 tahun pergi ke sekolah menggunakan popok. Hal tersebut sudah menjadi tren yang mengkhawatirkan,” sambungnya.

Hal ini menjadi keluhan bukan hanya karena tentang usia murid, namun juga masih banyak murid yang bergantungan pada popok. Padahal murid tidak memiliki masalah kesehatan apa pun.

“Orang tua harus memiliki tanggung jawab untuk memastikan anak usia sekolah tidak menggunakan popok lagi. Guru tidak ada di sekolah untuk mengganti popok murid. Itu sudah melewati batas,” tambah Rosler.

Seorang pakar perkembangan anak Rita Messmer bahkan mengaku pernah memiliki pasien anak berusia 11 tahun yang tak pernah diajari untuk menggunakan rest room.

“Jumlah anak yang memakai popok di sekolah telah melonjak,” ucap Messmer.

Ilmuwan pendidikan di Swiss juga Margrit Stamm juga menyoroti hal tersebut. Menurutnya banyak orang tua di Swiss yang menganggap popok adalah ‘pakaian dalam biasa’.

“Popok telah berkembang pesat selama beberapa dekade. Saat ini popok dipakai seperti pakaian biasa. Jadi anak-anak dibiasakan dengan popok,” ucap Stamm.

“Beberapa orang tua membiarkannya karena popok dianggap sebagai bantuan yang nyaman. Ini tidak dianggap sebagai masalah akhir-akhir ini,” pungkasnya.

Simak Video “Indonesia Masih Jauh dari Goal Herd Immunity
[Gambas:Video 20detik]
(avk/vyp)