Tag: Wolbachia

Muncul Narasi Nyamuk Wolbachia Berkaitan dengan LGBT, Begini Kata Kemenkes


Jakarta

Teknologi wolbachia atau nyamuk aedes aegypti yang diinfeksi bakteri wolbachia untuk menekan demam berdarah dengue (DBD) di RI ramai menuai professional dan kontra dari masyarakat. Seiring banyaknya orang yang mempertanyakan efektivitas inovasi tersebut, muncul juga narasi yang menyebut bahwa metode ini bisa membuat seseorang menjadi memiliki preferensi seksual lesbian, homosexual, biseksual dan transgender (LGBT).

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) Imran Pambudi meluruskan, informasi terkait nyamuk ber-wolbachia berkaitan dengan LGBT adalah tidak benar atau hoaks. Ditegaskannya, nyamuk ber-wolbachia ini tak bisa hidup di dalam tubuh manusia dan hanya bisa di serangga, seperti nyamuk.

“Ada disinformasi bahwa nyamuk akan masuk ke dalam tubuh manusia dan menyebabkan LGBT,” katanya dalam bincang akhir tahun bersama Kemenkes di Jakarta, Selasa, dikutip dari Antara.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Kalau itu benar, tentu nyamuk ber-wolbachia harus masuk ke dalam tubuh manusia, padahal secara referensi itu tidak bisa terjadi, karena wolbachia hanya hidup di tubuh serangga, kalau keluar dari sel dia bisa mati,” lanjutnya.

Terlepas dari maraknya narasi tersebut, Imran menjelaskan teknologi wolbachia ini adalah pelengkap program pengendalian demam berdarah dengue yang sudah ada, seperti pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M plus, gerakan satu rumah satu jumantik, atau kelompok kerja operasional (pokjanal) khusus demam berdarah.

Adapun fokus penyebaran nyamuk ber-wolbachia ini dilakukan pada enam kota, yakni Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Bontang, Kupang, dan Denpasar. Imran menambahkan, nyamuk ber-wolbachia dapat menurunkan kebutuhan penyemprotan atau fogging hingga 83 persen.

“Tahun 2023 ini ada daerah yang menganggarkan 125 kali penyemprotan, tetapi sampai November hanya digunakan sembilan kali, jadi alokasi anggarannya bisa dilakukan untuk yang lain,” ujar dia.

Ia juga menegaskan, sudah dilakukan studi kepada masyarakat yang di sekitarnya sudah mendapatkan nyamuk ber-wolbachia. Berdasarkan hasil studi yang dilihat dari jurnal medis Inggris, efektivitas penerapan nyamuk ber-Wolbachia di suatu komunitas masyarakat dapat mengurangi insiden kasus demam berdarah dengue (DBD) sebesar 77 persen, sekaligus mengurangi kapasitas rawat inap di rumah sakit akibat DBD sebesar 86 persen.

“Di Sleman dan Bantul, Yogyakarta, kami ambil sampel darah, karena kalau ada virus masuk ke dalam tubuh, kan tubuh otomatis membentuk antibodi. Dari sekian banyak sampel darah warga yang kami ambil, tidak ada satupun yang ditemukan ada antibodi melawan Wolbachia di dalam tubuhnya,” ujar Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dr Riris Andono Ahmad, dalam acara yang sama.

Andono mengemukakan, penerapan nyamuk ber-wolbachia ini lebih tepat dilakukan di kota-kota padat penduduk, karena nyamuk juga memiliki batas terbang.

Simak Video “308 Ember Nyamuk Wolbachia Disebar di Ujungberung Bandung
[Gambas:Video 20detik]
(suc/vyp)

Cerita Warga DIY Satu Dasawarsa Hidup ‘Berdampingan’ dengan Nyamuk Wolbachia


Jakarta

Pelepasan nyamuk wolbachia untuk menurunkan kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia masih menuai sejumlah polemik. Tidak sedikit masyarakat yang ragu karena dikhawatirkan bisa memicu mutasi genetik pada nyamuk.

Sebelum Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) melakukan pilot venture implementasi Wolbachia sebagai inovasi penanggulangan DBD, nyamuk ber-wolbachia sudah lebih dulu dilepaskan di Yogyakarta di tahun 2015.

Seorang tokoh masyarakat Kelurahan Cokrodiningratan, Totok Pratopo, menceritakan pengalamannya saat tim World Mosquito Program (WMP) yang melakukan riset wolbachia melakukan uji coba di wilayah Yogyakarta. Awalnya banyak yang bingung karena selama bertahun-tahun, warga hanya diminta untuk melakukan 3M (menguras, menutup, mengubur) untuk mencegah DBD.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Kemudian saya tanyakan, saya minta jaminan andaikata nyamuk dilepas dan ada warga kami yang tertular DBD, apakah ada jaminan atau santunan dari tim ini? Dan waktu itu mohon maaf tidak ada jawaban yang memuaskan dan dikatakan riset ini baru berjalan,” kata Totok dalam webinar Selebrasi Sedasawarsa Warga Yogyakarta Hidup bersama Nyamuk Ber-Wolbachia’ di UGM, Sleman, Rabu (22/11/2023).

Perjalanannya pun bukan tanpa tantangan. Namun dia bersama sejumlah peneliti terus melakukan sosialisasi untuk memberitahu masyarakat tentang manfaat nyamuk wolbachia demi memberantas DBD.

Sebelum penerapan program WMP, kondisi penyebaran DBD di kampung Cokrodiningratan, tempat tinggalnya, bisa dibilang memprihatinkan. Kasus baru selalu muncul menjelang akhir tahun, bahkan hingga mengakibatkan kematian.

“Kampung di pinggir Kali Code sebenarnya memiliki potensi yang tinggi karena tingkat kebersihan lebih rendah dan banyak genangan. Bersyukur teknologi ini ditemukan. Hari ini kampung saya Jetisharjo nol kasus. Tidak ada yang sampai masuk rumah sakit dan meninggal, ini sungguh melegakan bagi kami masyarakat,” kata Totok.

Simak Video “Kata Kemenkes soal Keamanan Program Pengendalian DBD Lewat Wolbachia
[Gambas:Video 20detik]
(kna/kna)

Kemenkes Ungkap Alasan di Balik Penolakan Teknologi Wolbachia di Bali


Jakarta

Rencana penyebaran nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia untuk menekan penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Denpasar dan Buleleng, Bali, menuai pro-kontra. Imbasnya, penerapan teknologi wolbachia yang seharusnya dilakukan pada 12-13 November di wilayah tersebut ditunda.

Terkait hal ini, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI dr Maxi Rein Rondonuwu mengungkap alasan di balik penolakan tersebut. Menurutnya, penolakan yang terjadi di masyarakat Bali disebabkan karena kurangnya sosialisasi.

Walhasil, banyak masyarakat yang takut dan khawatir lantaran tak tahu menahu dampak risiko maupun manfaat dari teknologi tersebut.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Sampai ke akar rumput itu memang kurang, sehingga masyarakat di sana belum tahu informasi manfaatnya,” imbuhnya dalam konferensi pers, Jumat (24/11/2023).

“Dan di Bali memang ditangani salah satu donatur yang membiayai, sehingga koordinasi dengan Dinas Kesehatan itu kurang,” imbuhnya.

Menurut dr Maxi, penolakan ini perlu ditangani dengan melakukan sosialisasi secara terus-menerus ke masyarakat.

Sebagaimana diketahui, DBD sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia. Segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah sejak 1970, mulai dari fogging hingga penerapan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) Plus. Akan tetapi, upaya yang dilakukan tersebut belum sepenuhnya bisa mengendalikan penyakit DBD di Indonesia.

Kehadiran inovasi teknologi wolbachia ini diharapkan bisa membantu sebagai pelengkap upaya program pemerintah untuk menekan angka penyebaran DBD. Terlebih, riset teknologi wolbachia sendiri juga sudah dilakukan di Indonesia sejak 2011.

Peneliti Bakteri Wolbachia dan Demam Berdarah Dengue dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK UGM), Prof Dr Adi Utarini, M Sc, MPH, PhD menjelaskan, teknologi ini sudah dibuktikan aman bagi manusia, hewan, dan lingkungan. Sebab, wolbachia yang ada di tubuh nyamuk aedes aegypti tak dapat berpindah ke serangga lain.

“Misalnya, serangga yang sangat hidup berdampingan aedes aegypti itu adalah nyamuk culex, itu kita sudah menunjukkan wolbachia ini tidak bisa berpindah ke serangga lain. Begitu pula tidak bisa berpindah ke manusia. Jadi dia tetap berada pada sel di nyamuk aedes aegypti,” ucap Prof Utarini atau akrab disapa Uut.

Simak Video “Peneliti Tegaskan Bakteri Wolbachia Tak Bisa Berpindah ke Manusia
[Gambas:Video 20detik]
(suc/kna)

Jakbar Siap-siap Sebar Nyamuk Wolbachia untuk Tumpas DBD

Jakarta

Seiring maraknya pembahasan seputar inovasi nyamuk wolbachia yang disebut-sebut bisa menekan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia, Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes) Jakarta Barat bakal menyebar nyamuk wolbachia pada awal Desember 2023.

Menurut Kepala Sudinkes Jakbar, Erizon Safari, program pengentasan DBD menggunakan nyamuk pembawa bakteri wolbachia tersebut sedang menunggu kesepakatan (MoU) antara Wali Kota Jakbar dengan Kementerian Kesehatan RI.

“Kita lagi finalisasi draf MoU antara bapak Wali Kota dengan Kementerian Kesehatan. Insyaallah bisa segera dituntaskan dan awal Desember seluruh rencana bisa dirilis,” ucap Erizon saat ditemui wartawan di Kantor Wali Kota Jakbar, dikutip dari Antara, Rabu (22/11/2023).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada awal November ini, pihaknya melakukan sosialisasi kepada camat, lurah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lain untuk memberikan pemahaman perihal penerapan teknologi penanganan DBD menggunakan nyamuk wolbachia.

“Hari ini kita undang lintas sektor, pemangku wilayah, camat lurah, terus tim SKPD. Karena pada intinya nanti kita akan meletakkan ember-ember yang berisi telurnya nyamuk mengandung wolbachia ini di sekolahan, perkantoran, perumahan, dan lain-lain,” tutur Erizon saat itu. Seraya ia menambahkan, pihaknya membutuhkan dukungan pemangku wilayah dan SKPD terkait untuk merealisasikan program tersebut.

Menyoal Nyamuk Wolbachia buat Tumpas DBD

Diketahui, wobachia adalah bakteri alami yang bisa ditumbuhkan pada nyamuk. Metode ini bertujuan melumpuhkan virus dengue dalam tubuh nyamuk aedes aegypti, sehingga mengurangi risiko penyebaran penyakit DBD.

Erizon menyebut, penanganan DBD dengan nyamuk wolbachia sudah terbukti 87 persen efektif saat diujicoba di beberapa wilayah seperti Bantul, Sleman dan Yogyakarta.

“Ini sudah ada implementasi, karena pilot venture (proyek contoh) sudah ada sejak 2014 dilakukan di Sleman, Bantul, dan Yogyakarta. Jadi karena sudah terbukti menurunkan sampai 87 persen maka diimplementasikan di lima kota (salah satunya Jakbar),” beber Erizon.

Nantinya, penyebaran ember dengan bibit nyamuk wolbachia akan dilakukan di Kecamatan Kembangan.

Erizon juga sempat menyebut, kasus DBD di Jakarta Barat selama Januari hingga Agustus 2023 mengalami fluktuasi, namun cenderung menurun.

“Pada Januari ada 132 kasus, Februari 94, Maret 105, April 125, Mei 95, Juni 80, Juli 66, dan Agustus 39 kasus,” pungkas Erizon.

Simak Video “Kata Kemenkes soal Keamanan Program Pengendalian DBD Lewat Wolbachia
[Gambas:Video 20detik]
(vyp/up)

Kemenkes Tebar Nyamuk Wolbachia di 5 Kota untuk Lawan DBD


Jakarta

Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) melakukan pilot undertaking penanggulangan demam berdarah dengue (DBD) dengan nyamuk wolbachia di lima kota di Indonesia. Kota tersebut yakni Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang, dan Bontang.

Penyelenggaraan Pilot Undertaking ini diatur dalam Keputusan Menteri Kesehataan Nomor HK.01.07/MENKES/1341/2022. Penyebaran telur nyamuk sudah dilakukan di Semarang, Bontang dan Kupang.

“Ini adalah daerah yang endemis (kasus) denguenya tinggi,” kata Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dalam raker dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (7/11/2023).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengenai polemik terkait nyamuk wolbachia untuk menanggulangi DBD, peneliti dari Universitas Gadjah Mada Prof Adi Utarini menegaskan teknologi wolbachia bukan rekayasa genetik. Pada dasarnya, metode Wolbachia ini menggunakan nyamuk aedes aegypti yang kemudian diinfeksi dengan bakteri Wolbachia.

Menanggapi narasi perihal potensi kemunculan penyakit baru akibat mutasi nyamuk, dia menegaskan menyebut bahwa nyamuk-nyamuk yang memicu penyakit selama ini berbeda dengan nyamuk yang telah dimodifikasi dengan Wolbachia.

“Japanese encephalitis, ini nyamuknya berbeda (Culex) dan penyakitnya juga berbeda. Tidak ada kaitannya dengan teknologi Wolbachia,” ujar Prof Ida dalam konferensi pers digital, Senin (20/11).

Simak Video “Kata Kemenkes soal Keamanan Program Pengendalian DBD Lewat Wolbachia
[Gambas:Video 20detik]
(kna/kna)