Jakarta –
Antrean panjang di sejumlah rumah sakit menjadi potret nyata akses masyarakat ke fasilitas kesehatan Indonesia belum merdeka.
Banyak pasien tidak tertolong imbas keterbatasan faskes. Jangankan perkara canggih, alatnya saja belum memadai. Ditambah lagi, persoalan kekurangan tenaga dokter dan nakes.
Salah satu yang krusial, terkait kasus anak pengidap jantung bawaan (PJB). Demi menyiapkan bonus demografi 2045 mendatang, kesehatan mereka menjadi kunci utama di balik produktivitas negara yang kemudian berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah punya ‘PR’ besar. Bagaimana tidak, Kementerian Kesehatan RI mencatat setiap tahunnya ada 12 hingga 15 ribu anak lahir dengan penyakit jantung bawaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari whole tersebut, baru 6 ribu anak yang bisa mendapatkan tindakan operasi. Sisanya? Bak mengandalkan keajaiban lewat doa. Selain nihil alat mumpuni, jumlah dokter bedah hanya berkisar lebih dari 160 dokter di penjuru Tanah Air. Jika dirinci lebih lanjut, hanya 17 di antaranya yang terjun sebagai spesialis bedah jantung anak.
“Kita sudah 77 tahun merdeka. Masa sih masih 9.000 bayi harus meninggal kelainan jantung yang bisa disembuhkan, tidak bisa tertangani, karena tidak ada alat dan tidak ada dokter spesialis,” sentil Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dalam beberapa kali kesempatan.
Beruntung, jika pasien cepat mendapatkan rujukan langsung ke RS rujukan nasional. Bagaimana dengan pasien di daerah dengan segala keterbatasan? Terlambat dirujuk, taruhannya adalah nyawa.
Kisah Pilu Ibu Membawa Anak ke Ibu Kota
Seperti yang dikhawatirkan Rika, wanita 23 tahun asal Sukabumi. Kabar tak mengenakkan datang saat anaknya yang baru memasuki usia 9 bulan, mulai mengeluhkan gejala batuk, pilek, bahkan sesak napas yang tak kunjung mereda.
Diminta untuk rutin menjalani pengobatan, Rika bolak-balik dokter umum selama dua bulan. Namun, kondisinya tak banyak berubah. Merasa ada yang tak beres, ia memutuskan untuk langsung membawa putranya dirawat di rumah sakit.
“Putra saya masih sering batuk, pilek dan sesak. Setelah itu saya inisiatif sendiri, dengan membawa ke rumah sakit, di sana dicek darah lagi, hasilnya anak saya mengidap penyakit lain, selain dari radang paru-paru ternyata punya penyakit lain yaitu anemia,” cerita Rika, saat dihubungi Minggu (29/10/2023).
Dokter kala itu menyebut putranya mengalami komplikasi, sampai menjalani perawatan intensif kurang lebih satu pekan, kemudian diperbolehkan pulang.
“Namun selama seminggu di rumah, anak saya kembali mengalami batuk, sesak, dan panas. Dirawat kembali jadinya, ketika dicek darah lagi, HB anak saya rendah, harus melakukan transfusi darah, selama dirawat hampir selama 3 minggu, kondisi anak saya tak kunjung membaik,” sambung dia.
Meski akhirnya demam sempat mereda sehingga proses transfusi darah bisa kembali dilanjutkan, Rika dibuat terkejut saat suhu anaknya mendadak tinggi nyaris 40 derajat celcius. Anak Rika kala itu juga mengalami step atau kejang-kejang. Ia kemudian memutuskan untuk membawa anaknya dirujuk ke RS lain di Sukabumi.
“Inisiatif sendiri lagi untuk paksa pulang, karena keadaan anak saya sudah mengkhawatirkan. Pada hari itu saya langsung pulang ke rumah dan lanjut membawa anak saya, ke rumah sakit di kota, di sana anak saya langsung mendapat tindakan dan dirawat inap selama seminggu. Alhamdullilah selama itu anak saya membaik dan berat badannya naik sampai 2 kilogram,” kata dia.
Analysis lain yang kemudian mengejutkan Rika, rupanya selama ini putranya mengidap Atrial Septal Defect atau kebocoran serambi jantung akibat penyakit jantung bawaan. Putra Rika harus segera mendapatkan penanganan sehingga dirujuk langsung ke RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.
Nihil RS yang menyanggupi penanganan kasus anak jantung bawaan lantaran keterbatasan alat.
Imbasnya, beban Rika bertambah, biaya berobat hingga perjalanan otomatis menjadi berkali lipat. Sebagai single mum or dad di tengah keterbatasan ekonomi, Rika terpaksa membawa anaknya ke Ibu Kota dengan transportasi umum, bahkan sempat memakai truk untuk berangkat ke Ciawi dari Sukabumi, kemudian melanjutkan perjalanan dari Bogor ke Jakarta.
“Waktu itu untuk ke Jakarta saya sampai naik truk ditemani Ibu saya, untuk membawa putra saya, alhamdulillah walaupun hanya sampai Ciawi, hingga dikasih uang oleh pengemudi truknya, bukannya saya yang ngasih karena numpang,” ceritanya.
Antrean Layanan di RS Foto: Infografis detikHealth
|
Rika, hanya menjadi satu dari sekian banyak gambaran sulitnya mengakses pelayanan kesehatan. Information di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita mencatat lebih dari 300 anak setiap tahunnya lahir dengan penyakit jantung bawaan (PJB). Banyak dari mereka yang terpaksa menunggu jadwal operasi selama kurang lebih enam bulan.
Bukan tanpa sebab, keterisian mattress occupancy fee (BOR) ruang NICU seringnya melampaui 90 persen. Pasalnya, banyak anak membutuhkan perawatan lebih lama lantaran bobot tubuh berada di bawah 3 kg. Sementara untuk melakukan operasi, berat badan anak harus melampaui angka tersebut dan ini menjadi persyaratan utama.
”Ruangan NICU BOR-nya lebih dari 90 persen, apabila ini keluar lebih cepat, maka NICU ini bisa dipakai oleh bayi-bayi lain sehingga bisa lebih baik lagi flownya, antriannya,” beber Direktur Utama RSAB Harapan Kita, dr Ockti Palupi Rahayuningtyas, MPH, MH Kes, beberapa waktu lalu.
dr Ockti menyebut pihaknya kemudian membuka layanan baru kateterisasi radiologi intervensi bayi dan anak yang memungkinkan bayi ditindak langsung melakukan operasi dengan harapan memangkas waktu rawat inap lebih cepat, sehingga pasien tidak harus menunggu berbulan-bulan.
NEXT: Siasat Kemenkes RI